Senin, 02 Februari 2009

Syariat Sebagai Gerbang Hakikat

Umat Islam masa sekarang ini banyak yang kehilangan arah dan tempat pijakan,
tidak tahu dari mana harus memulai. Mereka terpuruk dan ingin cepat bangkit dari
ketertinggalannya. Hal tersebut tampak dari semangat yang kadang berlebihan
dengan diiringi emosi yang tinggi, sehingga hal itu memudahkan musuh-musuh
Islam untuk mensiasati dan menjadikan umat Islam sebagai kaum teroris dan
berbagai kesan kurang baik lainnya. Hal ini harus diakui merupakan keteledoran
umat Islam dalam melaksanakan ajaran dengan pengertian yang keliru. Islam harus
kembali kepada hati yang suci, yang dalam firman Allah dikatakan ...."yang mampu
memuat Dzat-Ku". Dengan demikian seharusnya manusia akan berkata-kata dengan
Rab-nya tentang hidup, tentang ilmu, tentang informasi dan rencana-rencana untuk
menghadapi semua permasalahan di dunia maupun di akhirat. Bukankah Allah
berjanji akan melindungi seorang mukmin dengan mengalahkan sepuluh orang
musuh?. Kaum yang sedikit dengan kekuatan spiritual yang luar biasa mampu
mengalahkan perang badar yang dahsyat. Nabi Musa dengan keteguhannya dalam
bertauhid mampu mengalahkan Raja Fir'aun. Dan masih banyak lagi pejuangpejuang
sahid kita dalam menghadapi musuh dengan tetap teguh pada jalan tauhid
dan komunikasi kepada Allah Yang Agung.

Kita sadar bahwa begitu agungnya Al Qur'an, dan begitu piciknya kita dalam
memahami syariat, sehingga kita lihat ummat Islam sekarang terpuruk dan saling
menyalahkan. Kita lihat pula gerakan atau harokah-harokah Islam muncul dimanamana
dengan berbagai bentuk penawaran berupa konsep keIslaman yang lebih
murni. Namun apa yang terjadi, kenyataannya mereka masih sangat rapuh sehingga
antara mereka masih mengadakan adu otot dikhalayak ramai bahkan seperti anak
kecil saling cemooh dan masing-masing pihak merasa yang paling benar dan Islami.
Satu hal yang belum ada dalam jiwa ummat adalah kelembutan hati akibat jauhnya
dari ingat kepada Allah, ketika memulai suatu tindakan bukan dilandasi karena Allah,
serta kurang siapnya kita dalam menembus hati-hati yang panas dan gersang
dengan sapaan jiwa yang manis penuh kasih. Kita belum memiliki keberanian untuk
mengatakan akulah yang salah dan terimakasih atas nasihatmu. Padahal untuk hal
seperti itu Allah sudah memberikan peringatan seperti yang tercermin dalam surat Al
'Ashr ayat 3 :
"Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal soleh dan nasehat
menasehati supaya menta'ati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi
kebenaran" (QS 103:3).

Pada kali ini penulis akan membicarakan masalah syariat pada sisi yang lain
disamping yang sudah terpapar mengenai bersyariat untuk memikirkan ayat-ayat
kauniah. Penulis juga akan mengungkapkan masuknya seorang mukmin sejati dalam
bersyariat sehingga mencapai kepada tingkat hakikat syariat secara transendental.
Dimana pada kondisi ini adalah bagaimana melaksanakan syariat dan merasakan
keimanan yang sebenarnya dengan tetap mengacu pada kontrol Al Qur'an dan Al
hadist.

Imam Hasan Al Banna berkata di dalam risalah ta'lim : Bagi iman yang tulus, ibadah
yang benar serta mujahadah (berjuang menundukkan hawa nafsu) melahirkan
cahaya kelezatan yang Allah limpahkan ke dalam hati siapa saja yang Dia kehendaki
diantara hamba-hamba-Nya. Akan tetapi ilham, khowatir (lintasan-lintasan hati),
kasyf (penyingkapan rahasia ghaib) dan mimpi bukanlah merupakan dalil-dalil
hukum syariat dan tidak dianggap kecuali dengan syarat tidak bertentangan dengan
hukum agama dan nash-nash-Nya (nash dari Al Qur'an dan As Sunnah). Di dalam
menyikapi prinsip syariat, ada dua golongan/kategori yang termasuk di dalamnya,
yaitu :
Golongan pertama, golongan yang mengabaikan cita rasa yang terkandung dalam
syariat, atau mereka menilai sesuatu secara lahiriah saja tanpa melihat kepada
pengertian sesungguhnya, yang mana mereka/golongan ini mengingkari pengaruh
apapun yang timbul dari iman yang dalam, ibadah yang benar, serta ketulusan
dalam bermujahadah di dalam mencemerlangkan akal dan memberi hidayah kepada
hati.
Golongan kedua, yaitu golongan orang yang di dalam melaksanakan ibadah
(bersyariat), tidak hanya sampai kepada makna lahiriah saja, tetapi perhatian
terhadap penghadapan jiwa secara hanif (lurus) dan sungguh-sungguh dalam
berjuang melumpuhkan hawa nafsu. Di dalam hadist shahih, Rasulullah SAW
bersabda :
"Akan dapat merasakan makanan iman ialah : orang yang ridho terhadap Allah
sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai nabinya" (HR
Muslim dari Al Abbas).
Sufyan bin usyainah pernah ditanya "Mengapakah ahlul ahwa (yang bergelimang
dalam nafsu) itu begitu kuat cintanya kepada nafsunya ?" Sufyan menjawab :
"Apakah engkau lupa firman Allah yang mengatakan :
"Dan mereka itu telah dimesrakan dalam hati-hati mereka untuk menyembah anak
lembu dengan kekufuran mereka" (QS 2:92).
Setiap peribadatan yang apabila kita lakukan dengan syarat sungguh-sungguh akan
mendapatkan dampak kepada hati berupa kesejukan dan kemudahan untuk
melakukan kebaikan-kebaikan yang dirihoi Allah SWT. Dan sebaliknya apabila kita
melakukannya dengan sekedarnya saja atau hanya memenuhi syarat sahnya syariat,
maka kita tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali rasa penat dan jenuh. Sehingga
terasa sekali di hati kekakuan dan kecongkakkan yang dengan tetap bersimbulkan
keIslaman. Maka jadilah budaya kita adalah budaya Islam yang kaku dan jauh dari
sifat kasih sayang serta kebusukan hati yang diseliputi bungkus syariat Islam.
Kenyataan ini hendaknya kita koreksi, bagaimana sikap orang mukmin terhadap
sesama, dan bagaimana mereka bila disebut asma Allah.... lalu bergetar serta
tersungkur dan menangis tak tertahankan.
Di dalam Al Qur'an banyak dijelaskan ciri-ciri seorang mukmin sejati. Yang
seharusnya menjadi acuan dalam hidup kita dalam melakukan peribadatan kepada
Allah SWT. Bukannya lantas takluk kepada kekalahan terhadap nafsu. Yang akhirnya
kita tetap berkubang dalam kecintaan terhadap bimbingan setan yang sesat.
Kesulitan hati dalam merasakan nikmat Allah berupa kelezatan iman. Cemerlangnya
hati, kekhusu'an serta berbuat baik. Ini disebabkan ada bisikan pembimbing yang
setia setiap saat dalam melakukan kekejian dan kemungkaran, yaitu setan
laknatullah. Sebagaimana dicantumkan dalam Al Qur'an surat Az Zukhruf ayat 36 :
"Barang siapa yang berpaling dari dzikir kepada yang maha pemurah, kami adakan
baginya setan (yang menyesatkan) maka setan itulah yang menjadi teman yang
selalu menyertainya" (QS 43:36).
Sedangkan dalam surat Al Mujaadilah ayat 19 Allah berfirman :
"Telah dikerasi mereka oleh setan, maka setan itu telah menjadikan mereka lupa
kepada menyebut Allah" (QS 58:19).
Dilanjutkan dalam surat An Nisaa' ayat 142 tercantum, artinya :
"Mereka gemar memperlihatkan amalan-amalannya kepada manusia ramai dan
mereka tiada menyebut Allah kecuali hanya sedikit" (QS 4:142).
Juga dalam surat An Nuur ayat 21 , artinya :
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan.
Barang siapa yang mengikuti langkah-langkah setan itu menyuruh perbuatan yang
keji dan mungkar. Sekiranya tidak karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada
kamu sekalian niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan keji dan
mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya.
Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui" (QS 24:21).
Setelah melihat dengan jelas keterangan Al Qur'an mengenai betapa setan
merupakan penyebab utama dalam mengarahkan manusia untuk berbuat keji dan
mungkar, sehingga manusia tidak lagi mampu berbuat yang diperintahkan Allah.
Namun demikian Allah menjelaskan dalam Al Qur'an bahwa Allah sendirilah yang
akan mengangkat manusia ketika manusia dalam perangkap setan. Kita tidak akan
mampu menolak ajakan setan sebab mereka berada dalam pusat hati kita, kita
bagaikan terpengaruh hipnotis dimana selalu menuruti apa yang diperintahkan
setan. Maka jadilah kita orang yang selalu dalam bimbingan setan. Hati kita menjadi
keji tanpa harus melalui proses berpikir. Rasa jahat itu muncul seketika dalam hati
dan merasakan sulitnya berbuat kebajikan. Akan tetapi kekuatan atas kesungguhan
dalam menghayati perilaku syariat mengakibatkan si pelaku menemui hakikat
(kebenaran) dari apa yang dilakukan selama ini. Seperti diungkapkan Al Qur'an surat
Al 'Ankabuut ayat 45 mengenai shalat :
"bahwa sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar" (QS 29:45
).
Pemahaman atas ayat tersebut adalah bahwa shalat merupakan alat pencegah dari
segala perbuatan buruk. Satu hal yang akan penulis kedepankan dalam
memperhatikan masalah shalat, adalah bagaimana kita menghayati dan meluruskan
jiwa kita dalam menghadap kepada yang menciptakan langit dan bumi dengan tidak
sedikitpun kesyirikan dalam hati maupun pikiran kita. Kehadiran hati, perasaan serta
dialog yang telah disyariatkan. Apabila si pelaku tadi melakukannya dengan totalitas
tinggi (kaffah), maka ia akan mendapatkan karunia ketidakmampuan berbuat keji
dan mungkar, serta akan dimudahkan untuk selalu bersikap baik. Karena di dalam
hati orang itu sudah timbul perasaan ihsan yang terus-menerus terhadap Allah.
Syariat tidak lagi menjadi beban si pelaku. Tetapi merupakan energi bagi kehidupan
serta menjadi alat komunikasi yang indah untuk selalu berdialog dalam doa.
Ketidak-mampuan dalam melakukan perbuatan keji dan mungkar adalah merupakan
karunia Allah, merupakan kenyataan (hakikat). Si pelaku tidak lagi merasa tertekan
dan terbebani syariat yang begitu banyak.
Berdasarkan keterangan di atas, maka kecintaan terhadap perbuatan keji dan
mungkar itu hanya dapat diatasi dengan membawakan hati tersebut agar selalu
teringat kepada Allah serta mengihklaskan hati kita hanya untuk Allah. Sebagaimana
Allah firmankan dalam surat Yuusuf ayat 24 :
"Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan
Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia
tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikian itu karena hendak memalingkan
yusuf dari perbuatan jahat dan keji, karena sesungguhnya dia termasuk hambahamba
yang ikhlas" (QS 12:24).
Allah telah mengisyaratkan pada ayat-ayat di atas bahwa kita tidak akan mampu
beribadah dengan baik atau melakukan syariat yang begitu banyak, rasanya
mustahil kita memenuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah tersebut, kecuali
atas karunia dan bimbingan-Nya. Dan untuk mendapatkan bimbingan serta inayah
Allah kita diharapkan memasrahkan diri setiap saat dalam segenap keadaan, dengan
cara mengingat Allah baik pagi maupun petang, serta mengikhlaskan setiap
peribadatan hanya untuk Allah semata. Begitulah Allah memalingkan nabi Yusuf dari
perbuatan tercela dengan menuntun dan dan mencabut rasa keji dan mungkar di
hatinya. Padahal saat itu kedua belah pihak antara nabi Yusuf dan Siti Zulaiha sudah
saling menginginkan, namun nabi Yusuf berserah diri kepada Allah untuk
mendapatkan burhan (penerang) dari Allah. Atas dasar keikhlasan dan pemasrahan
yang kuat kepada Allah, akhirnya nabi Yusuf mendapatkan karunia terlepas dari
ajakan setan

Tidak ada komentar: