Kamis, 26 Februari 2009

Membuka Hijab

Istilah hijab sebenarnya baru muncul setelah orang mulai serius mendalami
pengetahuan tentang ma'rifatullah, segala cara amalan ibadah diterapkan untuk
memudahkan sampainya seseorang kepada tingkat mukhlasin. Yaitu orang yang
benar-benar berada dalam keadaan rela dan menerima Allah sebagai Tuhannya
secara transenden. Amalan amalan ibadah yang mereka lakukan merupakan
kutipan-kutipan perintah ibadah sunnah maupun yang wajib. Sehingga mereka
menyakininya bahwa mutiara-mutira Al Qur'an itu memang benar adanya.
Hijab adalah tirai penutup, didalam ilmu tasawuf biasa disebut sebagai penghalang
lajunya jiwa menuju Khaliknya. Penghalang itu adalah dosa-dosa yang setiap hari
kita lakukan. Dosa merupakan kabut yang menutupi mata hati, sehingga hati tidak
mampu melihat kebenaran yang datang dari Allah. Nur Allah tidak bisa ditangkap
dengan pasti. Dengan demikian manusia akan selalu berada dalam keragu-raguan
atau was-was. Didalam bab ini saya tidak membahas masalah dosa seperti apa yang
saya sebut diatas. Karena ketertutupan atau terhijabnya kita atas keberadaan Allah
disebabkan ketidak tahuan (kebodohan) dan sangkaan (dzan) akan Allah yang
keliru. Maka dari itu saya hanya ingin membuka wawasan dalam hal ketidaktahuan
kita akan Allah, yaitu jawaban-jawaban Allah atas pertanyan kita selama ini
Seperti yang pernah saya katakan pada artikel bab hati, bahwa hati merupakan
pusat dari segala kemunafikan, kemusyrikan, dan merupakan pusat dari apa yang
membuat seorang manusia menjadi manusiawi. Dan pusat ini merupakan tempat
dimana mereka bertemu dengan Tuhannya. Merupakan janji Allah saat fitrah
manusia menanyakan dimanakah Allah? Lalu, Allah menyatakan diri-Nya berada
"sangat dekat", sebagaimana tercantum dalam Al Qur'an :
"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang "Aku" maka (jawablah)
Bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a
apabila berdo'a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-
Ku) dan hendaklah mereka itu beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam
kebenaran " (QS 2:186)
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya (QS
50:16)
Pertanyaan tentang keberadaan Allah sering kali kita mendapatkan jawaban yang
tidak memuaskan, bahkan kita mendapatkan cemoohan sebagai orang yang terlalu
mengada-ada. Menanyakan keberadaan "Tuhanku" adalah merupakan pertanyaan
fitrah seluruh manusia.
Allahpun mengetahui akan hal ini, sehingga Allah memberikan jawaban atas
pertanyaan hamba-hamba-Nya melalui Rasulullah.
Didalam ayat-ayat di atas, mengungkapkan keberadaan Allah sebagai "wujud" yang
sangat dekat. Dan kita diajak untuk memahami pernyataan tersebut secara utuh.

Maka dari itu jawaban atas pertanyaan "dimanakah Allah?". Al Qur'an
mengungkapkan jawaban secara dimensional. Jawaban-jawaban tersebut tidak
sebatas itu, akan tetapi dilihat dari perspektif seluruh sisi pandangan manusia
seutuhnya. Saat pertanyaan itu terlontar "dimanakah Allah ", Allah menjawab
"….Aku ini dekat ", kemudian jawaban meningkat sampai kepada "Aku lebih dekat
dari urat leher kalian…atau dimana saja kalian menghadap disitu wujud wajah-Ku
….dan Aku ini maha meliputi segala sesuatu."
Keempat jawaban tersebut menunjukkan bahwa Allah tidak bisa dilihat hanya dari
satu dimensi saja, akan tetapi Allah merupakan kesempurnaan wujud-Nya, seperti
didalam firman Allah :
"Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keragu-raguan tentang
pertemuan dengan Tuhan mereka. ingatlah bahwa sesungguhnya Dia maha meliputi
segala sesuatu. (QS 41:54)
"Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap
disitulah wajah Allah maha luas lagi maha mengetahui" (QS 2:115)
Sangat jelas sekali bahwa Allah menyebut dirinya "Aku" berada meliputi segala
sesuatu, dilanjutkan surat Al Baqarah ayat 115 ..dimana saja engkau menghadap
disitu wajah-Ku berada!!! Kalau kita perhatikan jawaban Allah, begitu lugas dan
tidak merahasiakan sama sekali akan wujud-Nya.
Namun demikian Allah mengingatkan kepada kita bahwa untuk memahami atas ilmu
Allah ini tidak semudah yang kita kira. Karena kesederhanaan Allah ini sudah dirusak
oleh anggapan bahwa Allah sangat jauh. Dan kita hanya bisa membicarakan Allah
nanti di alam surga. Untuk mengembalikan dzan kita kepada pemahaman seperti
yang diungkap oleh Al Qur'an tadi, kita hendaknya memperhatikan peringatan Allah,
bahwa Allah tidak bisa ditasybihkan (diserupakan) dengan makhluq-Nya.
Didalam kitab tafsir Jalalain ataupun didalam tafsir fi dzilalil qur'an, membahas
masalah surat Fushilat ayat 54, … Allah meliputi segala sesuatu … adalah ilmu atau
kekuasaan-Nya yang meliputi segala sesuatu, bukan dzat-Nya.
Pendapat ini merupakan tafsiran ulama, untuk mencoba menghindari kemungkinan
masyarakat awam mentasybihkan (menyerupakan) wujud Allah dengan apa yang
terlintas didalam fikirannya ataupun perasaannya. Sehingga "Allah" sebagai wujud
sejati ditafsirkan dengan sifat-sifat Nya yang meliputi segala sesuatu. Untuk itu,
saya huznudzan memahami pemikiran para mufassirin sebagai pendekatan ilmu dan
membatasi pemikiran para awam.
Akan tetapi kalau "Allah" ditafsirkan dengan sifat-sifat-Nya, yang meliputi segala
sesuatu. Akan timbul pertanyaan, kepada apanya kita menyembah? Apakah kepada
ilmunya, kepada kekuasaan-Nya atau kepada wujud-Nya? Kalau dijawab dengan
kekuasan-Nya atau dengan ilmu-Nya maka akan bertentangan dengan firman Allah :
"Sesungguhnya Aku ini Allah , tidak ada tuhan kecuali "Aku", maka sembahlah "Aku"
(QS 20:14)
Ayat ini menyebutkan "pribadinya" atau dzat Allah, kalimat … sembahlah "Aku". Ayat
ini menunjukkan bahwa manusia diperintahkan menghadapkan wajahnya kepada
wajah Dzat yang Maha Mutlak. Sekaligus menghapus pernyataan selama ini yang
justru menjauhkan "pengetahuan kita " tentang dzat, kita menjadi takut kalau
membicarakan dzat, padahal kita akan menuju kepada pribadi
Allah, bukan nama, bukan sifat dan bukan perbuatan Allah. Kita akan bersimpuh
dihadapan sosok-Nya yang sangat dekat.
Ungkapan tentang Tuhan, juga disebut sebagai dalil pertama yang menyinggung
hubungan antara dzat, sifat, dan af'al (perbuatan) Allah. Diterangkan bahwa dzat
meliputi sifat … sifat menyertai nama … nama menandai af'al. Hubungan-hubungan
ini bisa diumpamakan seperti madu dengan rasa manisnya, pasti tidak dapat
dipisahkan. Sifat menyertai nama, ibarat matahari dengan sinarnya, pasti tidak bisa
dipisahkan. Nama menandai perbuatan, seumpama cermin, orang yang bercermin
dengan bayangannya, pasti segala tingkah laku yang bercermin, bayangannya pasti
mengikutinya. Perbuatan menjadi wahana dzat, seperti samudra dengan ombaknya,
keadaan ombak pasti mengikuti perintah samudra.
Uraian di atas menjelaskan, betapa eratnya hubungan antara dzat, sifat, asma, dan
af'al Tuhan. Hubungan antara dzat, dan sifat ditamsilkan laksana hubungan antara
madu dan rasa manisnya. Meskipun pengertian sifat bisa dibedakan dengan
dzat..namun keduanya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Kalimat …. Allah meliputi segala sesuatu (QS 41:54) adalah kesempurnaan ..dzat ,
sifat, asma, dan af'al. Sebab kalau hanya disebut sifatnya saja yang meliputi segala
sesuatu, lantas ada pertanyan, "sifat" itu bergantung kepada apa atau siapa ? Jelas
akan bergantung kepada pribadi (Aku) yang memiliki sifat. Kemudian kalau sifat
yang meliputi segala sesuatu, kepada siapakah kita menghadap? Kepada Dzat atau
sifat Allah. Kalau sifat Allah sebagai obyek ibadah kita, maka kita telah tersesat,
sebab sifat, asma dan perbuatan Allah bukanlah sosok dzat yang Maha Mutlak itu
sendiri.
Semua selain Allah adalah hudust (baru),.karena "adanya" sebagai akibat adanya
sang Dzat. seperti adanya alam, adanya malaikat, adanya jin dan manusia. Semua
ada karena adanya dzat yang maha qadim. Seperti perumpamaan madu dan
manisnya, sifat manis tidak akan ada kalau madu itu tidak ada. Dan sifat manis itu
bukanlah madu. Sebaliknya madu bukanlah sifat manis. Artinya sifat manis
tergantung kepada adanya "madu". Apakah Dzat itu, … seperti apa? Apakah ada
orang yang mampu menjabarkan keadaannya ?
Singkat kata, dualitas berkaitan dengan sifat diskursus manusia tentang Tuhan.
Untuk bisa memahami Tuhan, kita harus mengerti keterbatasan-keterbatasan
konsepsi kita sendiri, karena menurut perspektif ketakperbandingan tak ada yang
bisa mengenal Allah kecuali Allah sendiri!!! Karena itu kita punya pengertian tentang
Tuhan, "Tuhan" konsepsi saya dan "Tuhan" konsepsi hakiki, yang berada jauh diluar
konsepsi saya. Tuhan yang dibicarakan berkaitan dengan "konsepsi saya". Konsepsi
Dzat yang hakiki tidak bisa kita fahami, baik oleh saya maupun anda. Karena itu kita
tidak bisa berbicara tentangnya secara bermakna. bagaimana kita bisa memahami
tentang Dia, sedang kata-kata yang ada hanya melemparkan kita keluar dari seluruh
konsepsi manusia. Seperti, Al awwalu wal akhiru (Dia yang Awal dan yang akhir),
Dia yang tampak dan yang tersembunyi (Al dhahiru wal bathinu), cahaya-Nya tidak
di timur dan tidak di barat (la syarkiya wa la gharbiya), tidak laki-laki dan tidak tidak
perempuan, tidak serupa dengan ciptaan-Nya dst….
Kenyataan Tuhan tidak bisa dikenal dan diketahui berasal dari penegasan dasar
tauhid `laa ilaha illallah atau laisa ka mistlihi syai'un' (tidak sama dengan sesuatu).
Karena tuhan secara mutlak dan tak terbatas benar-benar dzat maha tinggi,
sementara kosmos berikut segala isinya hanya secara relatif bersifat hakiki, maka
realitas Ilahi berada jauh diluar pemahaman realitas makhluq. Dzat yang maha
mutlak tidak bisa dijangkau oleh yang relatif.
Kita dan kosmos (alam) berhubungan dengan tuhan melalui sifat-sifat Ilahi yang
menampakkan jejak-jejak dan tanda-tandanya dalam eksistensi kosmos. Kita tidak
bisa mengenal dan mengetahui Tuhan dalam dirinya sendiri, tetapi hanya sejauh
Tuhan mengungkapkan diri-Nya melalui kosmos (sifat, nama, af'al). Firman Allah:
"Dialah Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia, Dia mempunyai nama-nama yang
yang indah "(QS 20:8)
Sifat, nama, dan af'al, secara relatif bisa dirasakan dan difahami "maknanya". Akan
tetapi "Dzat", adalah realitas mutlak. Dan untuk memahami secara hakiki harus
mampu memfanakan diri, ... yaitu memahami keberadaan makhluq adalah tiada….
Untuk lebih jelasnya akan saya berikan perumpamaan keberadaan alam dan yang
menciptakan.
Ketika kita melihat kereta api berjalan diatas rel, terbetik dibenak kita suatu
pertanyaan. Bagaimana roda-roda yang berat itu bisa bergerak dan lari. Tak lama
kemudian kita akan sampai kepada pemikiran tetang alat-alat dan mesin-mesin
itulah yang menggerakkan roda yang berat itu. Adakah setelah itu kita dibenarkan
jika berpendapat bahwa alat kereta itu sendiri yang menggerakkan kereta tersebut.
Perkaranya tidak semudah itu, sebab kita tidak boleh mengabaikan bahwa disana
ada masinis yang mengendalikan mesin. Kemudian ada insinyur yang menciptakan
rancangan dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan, maka pada hakekatnya tak
ada wujud bagi kereta itu, dan tidaklah mungkin terjadi gerakan dan perputaran
pada roda-roda tanpa kerja insinyur. Mesin-mesin itu bukanlah akhir dari cerita
sebuah kereta api, akan tetapi hakikat yang paling akhir adalah "akal" yang telah
mengadakan mesin itu, kemudian menggerakkan menurut rencana yang telah
dipersiapkan.
Mengikuti ilustrasi realitas kereta api, mulai dari gerbong yang digerakkan oleh rodaroda,
kemudian roda-roda digerakkan oleh mesin, mesin digerakkan oleh masinis,
dan semua itu direncanakan, oleh yang menciptakan yaitu insinyur. Pertanyaan
terakhir adalah : "Mungkinkah roda-roda, mesin, dan alat-alat kereta api itu mampu
melihat yang menciptakan?" Jawabannya adalah insinyur itu sendiri yang
mengetahui akan dirinya, sebab kereta api dan insinyur berbeda keadaan dan bukan
perbandingan….
Realitas instrumen kereta api tidak ada satupun yang serupa jika dibandingkan
dengan keadaan realitas insinyur. Kemudian mengetahui keadaan realitas kereta api
dari awal sampai akhir, merupakan kefanaan atau penafian bahwa realitas kereta api
adalah ciptaan semata.
Firman Allah :
"(yang memiliki sifat-sifat yang..) Demikian itu ialah Tuhan kamu. Tidak ada Tuhan
selain Dia. pencipta segala sesuatu maka sembahlah Dia, dan Dia adalah pemelihara
segala sesuatu. Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat
melihat segala yang kelihatan. Dan Dialah yang maha halus lagi maha mengetahui" (
QS 6:102-103)
Realitas bahwa Dzat tuhan tidak bisa dibandingkan dengan sesuatu (QS 26:11) ...
berlaku sampai diakhirat kelak. Walaupun Tuhan sendiri mengatakan bahwa manusia
di alam surga akan melihat realitas Tuhan secara nyata atas eksistensi Allah, bukan
berarti kita melihat dengan perbandingan pikiran manusia … yang dimaksud melihat
secara hak disini adalah kesadaran jiwa muthmainnah yang telah lepas dari ikatan
alam atau kosmos.
Atau biasa disebut "fana", keadaan ini manusia dan alam seperti keadaan sebelum
diciptakan yaitu keadaan masih kosong 'awang uwung' (jawa), kecuali Allah sendiri
yang ada. Tidak ada yang mengetahui keadaan ini kecuali Allah sendiri.
Keadaan awal (Al Awwalu) tidak ada yang wujud selain Allah, tidak ada ruang, tidak
ada waktu, tidak ada alam apapun yang tercipta. Untuk mengetahui keadaan seperti
ini marilah kita ikuti kisah nabi Musa As. Firman Allah :
"Dan tatkala Musa datang (untuk munajat) dengan Kami, pada waktu yang telah
Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya. Berkatalah Musa :
ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku. Agar aku dapat melihat kepada
Engkau. Tuhan berfirman: kamu sekali-sekali tidak sanggup melihat-Ku, tetapi
melihat-lah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya (sebagaimana sediakala)
niscaya kamu dapat melihat-Ku. Tatkala Tuhannya nampak bagi gunung itu,
kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan, maka
setelah Musa sadar kembali dia berkata. Maha Suci Engkau, dan aku bertaubat
kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman …" (QS 7:143)
Ada yang menarik dalam peristiwa "pertemuan" nabi Musa ... dan saya hubungkan
dengan pembahasan mengenai keadaan "kefanaan" manusia dan alam. Yakni
keadaan hancur luluh lantak keadaan gunung Thursina dan keadaan Musa jatuh
pingsan!!! Setelah gunung itu hancur dan Musa-pun jatuh pingsan, tidak satupun
yang terlintas realitas apapun didalam perasan Musa dan fikirannya, kecuali ia tidak
tahu apa-apa. Yaitu realitas konsepsi manusia dan alam tidak ada (fana). Dalam
keadaan inilah Musa melihat realita Tuhan, bahwa benar Tuhan tidak bisa
dibandingkan oleh sesuatu apapun. Kemudian Musa kembali sadar memasuki realitas
dirinya sebagai manusia dan alam. Musa berkata :aku orang yang pertama-tama
beriman..dan percaya bahwa Allah tidak seperti konsepsi "saya".
Setelah kita mengetahui dan faham akan Dzat, sifat, dan af'al Allah, teranglah fikiran
dan batin kita, sehingga secara gamblang kedudukan kita dan Allah menjadi jelas,
yaitu yang hakiki dan yang bukan hakiki. Terbukalah mata kita dari ketidaktahuan
akan Dzat. Ketidaktahuan inilah yang saya maksudkan dengan tertutupnya hijab,
sehingga perlu disadarkan oleh kita sendiri dan kemudian mengenal-Nya (ma'rifat)
Syekh Ahmad bin `Athaillah, didalam Al Hikam menyebutkan bahwa :
"Tiada sesuatu benda yang menghijab engkau dari Allah, tetapi yang menghijab
engkau adalah persangkaanmu adanya sesuatu disamping Allah, sebab segala
sesuatu selain dari Allah itu pada hakikatnya tidak maujud (tidak ada) sebab yang
wajib ada hanya Allah, sedang yang lainnya terserah kepada belas kasihan Allah
untuk diadakan atau ditiadakan".
Seorang arif berkata : "Adanya makhluq semua ini bagaikan adanya bayangan
pohon di dalam air. Maka ia tidak akan menhalangi jalannya perahu. Maka hakikat
yang sebenarnya tiada sesuatu benda apapun yang maujud disamping Allah untuk
menghijab engkau dari Allah. Hanya engkau sendiri mengira bayangan itu sebagai
sesuatu yang maujud."
Ibarat seseorang yang bermalam disuatu tempat, tiba-tiba pada malam hari ketika ia
akan buang air, terdengar suara angin yang menderu masuk lobang sehingga persis
sama dengan suara harimau, maka ia tidak berani keluar. Tiba pada pagi hari ia
tidak melihat bekas-bekas harimau, maka ia tahu bahwa itu hanya tekanan angin
yang masuk ke lobang, bukan tertahan oleh harimau, hanya karena perkiraan
adanya harimau.
Sang Syekhk berkata : "andaikan Allah tidak dhahir pada benda-benda alam ini,
tidak mungkin adanya penglihatan pada-Nya. Dan andaikan Allah tidak
mendhahirkan sifat-sifat-Nya, pasti lenyaplah alam benda-benda. Ketika Allah
bertajalli kepada gunung, hancurlah gunung itu, sedang Musa jatuh pingsan … "
Pertanyaan demi pertanyaan timbul dari ketidaktahuan (hijab), kenyataaan bahwa
Allah sangat dekat … tertutup oleh kebodohan ilmu kita selama ini. Allah seakan jauh
diluar sana …sehingga kita tidak merasakan kehadiran-Nya yang terus menerus
berada dalam kehidupan kita. Dari keterangan diatas menyimpulkan bahwa kita
ternyata telah salah kaprah mengartikan sosok dzat selama ini, yang kita sangka
adalah konsepsi "saya", bukan konsepsi hakiki, yaitu wujud yang tak terbandingkan
oleh perasaan, pikiran , mata hati, dan seterusnya. Allah kita adalah Allahnya Musa,
... Allahnya Ibrahim, ... dan Allahnya Muhammad … yaitu yang Maha tak terjangkau
oleh apapun…
Kini saatnya kita bertakbir tertuju kepada dzat …bukan kepada sifat … (fa' bud nii)
sembahlah AKU …, sehingga fanalah "diri" dan semesta.
Tafakkur dan Meditasi Transendental
Setelah kita mengetahui dan mengenal Allah secara ilmu, maka semakin mudahlah
kita untuk memulai berkomunikasi dan berjalan menuju kepada-Nya. Kita telah
meyakini bahwa kita akan kembali kepada-Nya sekarang ... bukan besok !
Firman Allah :
"Hai manusia, sesungguhnya engkau berusaha sungguh-sungguh menuju kepada
Tuhanmu, maka engkau akan menemuinya". (QS 84:6)
"ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keragu-raguan tentang
pertemuan dengan tuhan mereka. Ingatlah bahwa Allah maha meliputi segala
sesuatu". (QS 41:54).
Didalam ayat lain dikatakan, bahwa shalat itu adalah pekerjaan yang amat sulit,
kecuali bagi orang yang khusyu'. Siapakah orang yang khusyu' itu, ialah orang yang
mempunyai sangkaan bahwa ia akan bertemu dengan Allah dan mereka adalah
orang yang kembali kepada Allah. Rajiun artinya; orang yang kembali
(kedudukannya sebagai fa'il), bukan yang akan kembali.
Kekhusyu'an shalat dan ibadah-ibadah yang lainnya tidak akan bisa dicapai, kalau
kita tidak mengerti ilmu tauhid, yaitu mengerti akan Allah secara hakiki. Dasar
tauhid inilah yang menjadi bekal kita untuk menuju tawajjuh kepada Allah, dan
merupakan jalan yang membedakan dari peribadatan-peribadatan agama lain selain
Islam.
Pada tatanan fenomena fisik dan psikis, mungkin kita akan mengalami kesamaan
dengan perjalanan meditator … penyembuh, pastor, atau pendeta … biksu yang
tekun beribadah … atau kadang juga sama dengan penggali spiritual yang tidak
menggunakan pengertian ke-Tuhanan sama sekali …
Pengalaman-pengalaman ini bukanlah penentu sebuah kebenaran spiritual tertentu.
Akan tetapi hal ini, seperti keadaan ilmu-ilmu yang lainnya yang bersifat universal,
seperti perasaan rindu …cinta … sedih … bahagia dan ketenangan. Keadaan ini bisa
disebut sebagian dari pengalaman perasaan rohani. Yang tidak bisa kita klaim
sebagai milik orang Islam saja..atau orang kristen ... dan yang lain.
Banyak pendeta yang berdoa di gereja memohon kesembuhan bagi si penderita sakit
parah ... ia bisa sembuh …pendeta Budha pun demikian ... dan tidak sedikit pula dari
kalangan Islam yang bukan kyai bisa berdoa untuk yang sakit, ... iapun bisa
sembuh.
Dari sudut pandang psikolgi modern, tafakkur termasuk bagian dari psikologi
berfikir. Lapangan sentral kajian psikologi tradisional pada masa-masa sebelum
aliran behaviorisme mendominasi psikologi. Pada masa-masa awal, psikologi banyak
terfokuskan pada studi sekitar pikiran, kandungan perasaan, dan bangunan akal
manusia. Pembahasan masalah belajar hanya dikaji melalui tema-tema tersebut,
kemudian muncul aliran behaviorisme dengan konsep-konsepnya yang terkenal.
Aliran ini, akhirnya mengubah secara besar-besaran pandangan-pandangan
sebelumnya, kemudian menempatkan kajian mengenai proses belajar manusia,
melalui rangsangan dan respon yang timbul, menjadi tema utama psikologi.
Perasaan, kandungan akal, dan pikiran dianggap sebagai masalah yang tidak dapat
dijangkau dan dipelajari secara langsung, sebagaimana juga metode yang dipakai
untuk mempelajarinya, seperti metode intropeksi, dikritik karena tidak dapat
dibuktikan secara empiris. Para penganut faham behaviorisme menginginkan
psikologi sebagai ilmu empiris berdasarkan fenomena-fenomena lahiriah yang dapat
dikaji dilaboratorium. Menurut mereka, segala kegiatan kognitif dan perasaan yang
ada dan terjadi dalam benda-benda hidup merupakan akibat dari interaksinya
dengan pengaruh-pengaruh tertentu.
Kegiatan-kegiatan "pikiran dalam" itu, mereka anggap sebagai suatu peti terkunci
yang bagian dalamnya tidak mungkin diketahui dengan jelas. Karena itu, tidak perlu
menghabiskan waktu untuk mempelajarinya. Adapun berbagai respon dan
tanggapan yang timbul akibat kegiatan dalam yang dapat diukur dan diamati,
merupakan pusat perhatian kajian ilmiah empiris mereka.
Hal yang lebih pelik dan kompleks bagi kita, orang Islam, adalah bahwa salah satu
unsur pembentukan perilaku manusia terpenting telah ditinggalkan oleh psikologi
barat modern, meskipun banyak penemuan modern telah membuktikan pentingnya
unsur tersebut, yaitu unsur spiritual. Psikologi modern hanya berpegang pada unsur
psikologis, biologis sosial dan kultural sebagai unsur-unsur pembentukan perilaku
manusia, dengan alasan, mudah didefinisikan jika dibandingkan dengan sisi spiritual.
Selain itu, ia juga menolak segi spiritual karena dianggap tumbuh dari pandangan
agama.
Sebagian kalangan Islam juga menolak pentingnya tafakkur, yang merupakan unsur
penting dari suatu agama disamping tatanan hukum syariat. Mereka menganggap
perbuatan itu adalah bid'ah.
Awal dari segala perbuatan adalah kegiatan berfikir dan kognitif dialam sadar.
Berdasarkan hal itu, orang selalu berfikir panjang dan mendalam atau bertafakur
sehingga dengan mudah melaksanakan segala ibadah dan ketaatan lainnya. Dalam
hal ini Al Ghazaly dalam Ihya'nya mengatakan: "Jika ilmu sudah sampai dihati,
keadaan hati akan berubah, jika hati sudah berubah, perilaku anggota badan akan
berubah. Perbuatan mengikuti keadaan (hal), keadaan mengikuti ilmu, dan ilmu
mengikuti pikiran, oleh karena itu pikiran adalah awal dan kunci segala kebaikan,
dan yang menyingkapkan keutamaan tafakkur. Pikiran lebih baik daripada dzikir,
karena pikiran adalah dzikir plus". (Abu Hamid Al Ghazaly, Ihya' ulumuddin jilid IV
hal. 389)
Sebagaimana kegiatan berfikir adalah kunci kebaikan dan amal shaleh, ia juga
merupakan segala perbuatan lahir dan batin. Oleh karena itu, hati yang selalu
merenung atau bertafakkur tentang ketinggian dan keagungan Allah Swt, serta
memikirkan kehidupan akhirat, akan dapat membongkar dengan mudah niat-niat
jahat yang terlintas dalam benaknya. Karena, ia memiliki kepekaan dan ketajaman
sebagai hasil dzikir dan tafakkurnya yang berkesinambungan itu. Setiap kali terlintas
suatu niat jahat atau buruk kedalam hati, maka pikiran, perasaan dan pandangan
baiknya dapat segera mengetahui dan menguasainya, lalu menghancurkan
keberadaannya. Seperti anggota badan yang sehat dapat menolak dan
menghancurkan penyakit yang mencoba menghinggapinya.
Seorang yang alim yang menyambung malam dan siang dengan tafakkur tentang
keagungan Allah, tentang kehidupan dunia dan akhirat adalah seorang yang terjaga.
Manakala terlintas sedikit saja niat jelek yang mencoba menghampirinya, api
kebaikan akan menghantamnya atau membakarnya, seperti lemparan api yang
menjaga langit dari intaian syetan yang hendak mencuri pendengaran;
"sesungguhnya orang-orang yang bertakwa apabila mereka ditimpa was-was dari
syetan, mereka mengingat Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahankesalahannya"
(QS 7:201)
Jadi, tafakkur memanfaaatkan segala fasilitas pengetahuan yang digunakan manusia
dalam proses berfikir. Tafakkur adalah menerawang jauh dan menerobos alam dunia
kedalam alam akhirat, dari alam ciptaan menuju kepada pencipta. Loncatan inilah
yang disebut al ibrah, melihat jauh sarat pengetahuan.
Berfikir kadang hanya terbatas, pada upaya memecahkan masalah-masalah
kehidupan dunia, yang mungkin terlepas dari emosi kejiwaan, sedang tafakkur dapat
menerobos sempitnya dunia ini menuju alam akhirat yang luas, keluar dari belenggu
materi menuju alam spiritual yang tiada batas. Mungkin hal ini yang dimaksudkan
oleh psikolog sebagai kecerdasan jiwa yang hebat.
Tafakkur dapat menggerakkan semua kegiatan kognitif serta pikiran dalam dan luar
seorang mukmin. Dr. Malik Badri, ahli psikoterapi dari Sudan berpendapat,
perwujudan tafakkur memiliki dan melalui tiga fase dan berakhir pada fase keempat,
yang disebut istilah "syuhud". Diawali dengan pengetahuan yang didapat dari
persepsi empiris yang langsung. Melalui alat pendengaran, alat raba, atau alat indra
lainnya. Atau dengan tidak langsung, seperti pada fenomena imajinasi, atau kadang
pengetahuan rasional yang abstrak. Sebagian besar pengetahuan ini tidak ada
hubungannya dengan emosi atau sentimen.
Kalau seseorang memperdalam cara melihat dan mengamati sisi keindahan,
kekuatan, keistimewaan lainnya yang dimiliki sesuatu, berarti ia telah berpindah dari
pengetahuan dingin menuju rasa kekaguman akan keagungan ciptaan, susunannya
rapi, pemandangannya yang indah. Fase ini adalah fase kedua, fase tempat
bergejolaknya perasaan. Kalau dengan perasaan ini ia berpindah menuju sang
pencipta dengan penuh kekhusyu'an sehingga dapat merasakan kehadiran Allah dan
sifat-sifat-Nya yang tinggi, berarti ia sudah berada pada fase ketiga. Sekadar dapat
memandang dan menyaksikan ciptaan-Nya tidak lebih dari fase awal yang primitif,
pada fase ini antara pandangan seorang mukmin dan orang kafir tidak ada bedanya.
Fase kedua, yaitu fase tadhawwuk, pengungkapan rasa kekaguman terhadap ciptaan
atau susunan alam yang indah, fase ini dapat dirasakan, baik oleh orang mukmin
maupun oleh orang kafir, tanpa mellihat sisi keimanan atau sisi kekufuran. Akan
tetapi, pada fase pengetahuan ketiga yang menghubungkan antara perasaan akan
keindahan ciptaan dan kerapian tatanan alam dengan penciptanya yang maha agung
dan maha tinggi, merupakan nikmat besar yang hanya dapat dirasakan oleh orang
mukmin.
Fase-fase tersebut merupakan perjalanan yang akan dialami oleh setiap orang yang
melakukan tafakkur. Pada fase-fase ini adakalanya orang hanya sampai kepada
keadaan primitif yaitu fenomena alam, baik yang kasat mata maupun yang abstrak
(ghaib), yang oleh orang tertentu dimanfaatkan untuk melihat (kasyaf), yang lebih
halus, pengobatan, dan kekuatan yang luar biasa.
Sarana - sarana Tafakkur
Di dalam fenomena meditasi transendental pemusatan fikiran dengan mengulangulang
suatu gambaran pikiran tertentu atau makna suatu keyakinan (dzikir, mantra)
memiliki nilai besar bagi orang yang melakukannya. Hal ini akan menghantarkannya
pada angan-angan atau gambaran yang sangat dalam dan pada konsep-konsep baru
tentang sesuatu obyek pikir atau meditasi, lalu naik pada tingkatan bayangan dan
gambaran yang paling sulit didapat dalam kehidupan rutin yang terbatas. Oleh
karena itu pengalaman ini disebut meditasi transendental.
Pada mulanya tafakkur, meditasi transendental berlaku universal, pengalamanpengalaman
serta pengaruh yang dirasakan sama, apakah itu metode yang yang
digagas oleh Hindu, Budha, Kristen dan Islam. Diantaranya yang dilakukan dalam
meditasi ialah, pengosongan pikiran dan melupakan segala keruwetan dalam benak
yang dapat mengganggu proses meditasi dan konsentrasi pada obyek meditasi. Ia
harus kembali mengonsentrasikan pikiran pada "apa" yang ia pilih sebagai obyek
pikiran dan meditasinya. Ia harus mengambil posisi duduk pasif yang rileks. Latihan
ini harus selalu diulang-ulang, sehingga hari demi hari meditasi dan berfikirnya
menjadi lebih dalam, badan terasa lebih ringan, fikiran menjadi bersih, jiwa menjadi
sangat luas tak terbatas. Bersamaan dengan itu, hilang pula segala perasaan gelisah
,sedih, galau, dan segala gangguan jasmani yang dirasakan sebelumnya.
Seorang mukmin akan mudah menemukan cara meditasi semacam ini, karena
metode ini memiliki kesamaan yang jelas dengan proses tafakkur tentang penciptaan
langit dan bumi yang disertai dzikir dan bertasbih kepada obyek yang maha tak
terjangkau yaitu Allah, baik berdiri, duduk rileks, berbaring. Kesamaannya terletak
pada upaya pengkonsentrasian pikiran pada obyek tertentu, ada yang menggunakan
patung, irama musik, roh suci, mantra-mantra suci, dan membayangkan wujud
syekh atau guru pembimbing spiritual. tujuannya adalah upaya melepaskan atau
menjauhkan dari pengaruh yang mengganggu konsentrasi, keruwetan angan-angan
fikiran, perasaan, ataupun kebisingan dan keramaian.
Keduanya juga sejalan dalam hal latihan,proses melihat dan mengulang kata-kata
(dzikir), atau makna obyek meditasi. Oleh karena, itu seseorang yang bertafakkur
bertasbih, dan bermeditasi dapat menangkap makna dan pengetahuan baru yang
sebelumnya tidak terlintas dalam hati. Keduanya mengunakan kedalaman tafakkur
untuk membersihkan pengetahuan lahiriah dari belenggu penjara rutinitas kehidupan
material menuju kebebasan menatap lepas keatas, menuju pengetahuan yang luas
tak terbatas.
Kita akan berada di luar badan kecil ini, menjadi jiwa yang tidak terikat, mempunyai
keluasan wujud dan kemampuan "melihat tanpa bola mata", "mendengar tanpa daun
telinga" dan merasakan keuniversalan jiwa yang tak terbatas oleh waktu dan ruang.
"Inilah jiwa" yang memiliki "watak" yang sama dengan jiwa-jiwa lainnya; dimana hal
yang membedakan adalah "kemana akhir kembalinya jiwa".
Ada beberapa jalan yang digunakan orang untuk melakukan meditasi yaitu menatap
dengan pikiran kepada suatu obyek yang diyakininya. Serta sensasi yang
mempengaruhi terhadap perilakunya. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh
Eckankar, didapatkan suatu sensasi yang terjadi pada pelaku meditator, dari seluruh
aliran spiritual yang ada di dunia. Eckankar menamainya kalam semesta Ilahi. Ada
jenis tahapan, serta kata-kata yang dijadikan sarana untuk tafakkur, jenis
pengelompokan, suasana yang dirasakan didalam spiritual, serta penjelasan dan
manfaatnya. (lampiran)
Eckankar membawa kesadaran kita menuju alam spiritual dan batasan-batasan yang
dicapai oleh para meditator. Betapa ia sangat teliti dan hati-hati dalam
mengungkapkan "keadaan" atau suasana yang dialami oleh spiritualis,
pengelompokan dan tahapan-tahapan agar menjadi "catatan" bagi para pemula
didalam menjalani "laku spiritual", terutama obyek apa yang digunakan dalam
menghantarkan jiwa kembali kepada eksistensi diri sejati.
Islam menempatkan "Allah" sebagai obyek yang tak terbandingkan merupakan
sarana membebaskan jiwa dari ikatan dan pengaruh alam yang dilaluinya, sehingga
jiwa yang terlepas dari alam, mustahil syetan dan jin mampu menembus alam jiwa
yang bebas (ikhlas). Firman Allah :
"Iblis menjawab: demi kekuasaan Engkau ,aku akan menyesatkan mereka semua.
Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis diantara mereka" (QS 38:82-83)
Pada alam inilah "jiwa " mencapai puncak kesempurnaan spiritual tertinggi, dan
Allah-pun memanggilnya kembali kesisi-Nya.
"Wahai jiwa yang tenang (yang tidak terikat oleh syahwatnya)…" "Kembalilah kamu
kepada Tuhanmu dengan rela dan meridhai" "Dan masuklah kamu kedalam syurga-
Ku" (QS 89:27-30)
Pada tahapan ini Eckankar tidak mengungkapkan lebih lanjut keberadaan jiwa sejati,
ia hanya mengatakan "di atas the sugmad adalah masih banyak tahapan yang belum
terwujud".
Pada tahapan kesepuluh "Anami lok", dan kata-kata yang digunakan sebagai objek
spiritual adalah "HU" (Hua), (dari konsep laa ilaha illa hua ... tiada Tuhan kecuali
Dia) dia yang tak terbandingkan oleh sesuatu. Suatu konsep qur'ani yang
membedakan dari jalan spiritual manapun dan akan terhindar dari jebakan
kebisingan intuisi alam materi, yang banyak dipenuhi 'anak-anak syetan' yang
menempati setiap ruang angkasa spiritual.
Dilanjutkan kepada tahapan sebelas "alam sugmad" dan tahapan duabelas "sugmad"
yaitu tidak ada lagi kata-kata yang digunakan (sir) yaitu keadaan samudra cinta dan
kalam Ilahi yang mengalir kepada jiwa muthmainnah (jiwa yang telah terbebas dari
ikatan segala macam alam).
Kemenangan perjuangan Rasulullah menghadapi tantangan dan gangguan syetan
saat beliau pergi mi'raj dengan kekuatan jiwa muthmainnah sabda Nabi:
"Orang yang gagah berani bukanlah orang yang dapat menyerbu musuhnya dengan
tangkas dalam pertempuran, akan tetapi orang yang gagah berani itu sebenarnya
yang kuasa dan mampu menahan hawa nafsunya" (al hadist)
"Kalaulah syetan-syetan itu tidak berkerumun di hati Bani Adam, niscaya mereka
dapat memandang ke alam ghaib (abstrak)" (Hr Ahmad dari abu Hurairah)
Pada tahapan tertinggi (Al A'raaf), kita akan mampu melihat fenomena-fenomena
alam di bawah, seperti intuisi yang ditimbulkan oleh halusinasi, fikiran, perasaan,
dan getaran gelombang-gelombang pendek, yang dihembuskan syetan dan jin.
Sebab jiwa telah melampaui tahapan-tahapan dari ikatan seluruh alam semesta
menjulang menuju yang bukan alam, yaitu Dzat yang maha mutlak.
Firman Allah :
"Sesungguhnya orang-orang yag bertaqwa apabila mereka ditimpa was-was dari
syetan, mereka mengingat Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahankesalahannya"
(QS 7:201)
"Syetan-syetan itu tidak dapat mendengarkan (pembicaraan) para malaikat (alam
yang tinggi) dan mereka dilemparkan dari segala penjuru" (QS 37:8)
"Sesungguhnya syetan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman
dan bertawakkal kepada Allah. Sesungguhnya kekuasaannya (syetan) hanyalah atas
yang mengambilnya pemimpin dan atas orang yang mempersekutukannya dengan
Allah" (QS 16:99-100)
Pada ayat-ayat ini dijelaskan bahwa apabila obyek meditasinya bukan tertuju kepada
yang tak terhingga, yaitu zat yang tidak sama dengan makhluq-Nya, maka selain itu
adalah wilayah syetan dan anak cucunya yang siap menerkam jiwa-jiwa yang
tersesat. Maka jangan heran banyak ahli dzikir yang menyimpang seakan ia
mendapatkan ilham dari Allah dan kemudian mengaku sebagai nabi, sebagai imam
mahdi dan wali Allah. Dan dengan seenaknya ia meninggalkan perintah-perintah
Allah, tidak shalat, tidak zakat, dan berperilaku kharikul 'adah (keluar dari ketentuan
syariat Allah).
Untuk diketahui bahwa orang yang sampai kepada Allah adalah orang yang mampu
menangkap ilham-ilham Allah dan itu tidak akan bertentangan dengan perintah yang
tertulis dalam Al Qur'an dan Al sunnah.
Kesombongan dan keangkuhan merupakan bukti keadaan jiwa masih terikat oleh
pengaruh alam ciptaan. Untuk itu islam menolak didalam ibadahnya menggunakan
sarana yang bukan Allah, seperti pembayangan guru, wasilah rasul, dan mantramantra,
untuk menghantarkan jiwanya menuju Allah. Hal ini mustahil akan sampai
kepada Allah yang maha mutlak, sebab bayangan sesuatu hanya akan
menyampaikan jiwa menuju alam yang paling rendah yaitu alam-alam halusinasi,
kekuatan alam, kekuatan jin dan syetan. Walaupun ia menggunakan sarana kalimat
thayyibah (misalnya "Allah, laa ilaha illah, subhanallah"), kalimat-kalimat ini bukan
sekedar kata-kata yang tidak mempunyai makna, seperti para meditator ketika
memulainya meditasi menggunakan sarana bayangan roh suci, patung dan mantramantra
suci, maka hasilnya akan menjadi sama saja dengan mereka. Hanya sampai
kepada pemuasan rasa tenang dan bahagia semata dan memanfaaatkan fenomenafenomena
kekuatan ghaib untuk atraksi kekuasaan dan ke"aku"an manusia. Alam ini
masih termasuk dunia syahwat.
Selama ilmu kita mengenai Tuhan terbatas kepada apa yang dibayangkan oleh
pikiran dan perasaan sebagai obyek meditasi, selama itu pula kita berkutat dalam
dunia spiritual yang menyimpang dari ketentuan Islam.
Didalam akhir bab ini mari kita perhatikan firman-firman Allah tentang perdebatan
kecil antara Allah dan syetan:
Allah berfirman : Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah
Ku- ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah
kamu merasa termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi ?
Iblis berkata : Aku lebih baik dari padanya, karena Engkau ciptakan aku dari api,
sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.
Allah berfirman: maka keluarlah kamu dari syurga, sesungguhnya kamu adalah
orang yang terkutuk. Sesungguhnya kutukan-Ku tetap atas kamu sampai hari
pembalasan.
Iblis berkata: Ya Tuhanku … beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan.
Allah berfirman: sesungguhnya kamu termasuk orang yang diberi tangguh. Sampai
hari yang telah ditentukan waktunya (hari qiyamat)
Iblis menjawab: Demi kekuasaan Engkau..aku akan menyesatkan mereka semua.
Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis diantara mereka…. (QS 38:75-83)
Demikian penjelasan keadaan atau suasana meditasi, serta tanjakan-tanjakan yang
banyak dilalui orang didalam bermeditasi atau tafakkur yang bersifat universal. Hal
yang membedakan adalah, akhir dari perjalanan jiwa tersebut yaitu kembali pasrah
kepada Allah yang maha mutlak (ber-Islam = berserah diri secara total)..Inna lIlahi
wa inna ilaihi raji'un…..(tidak berhenti pada tahapan-tahapan alam)
Pada bab berikutnya saya akan mengajak anda membuka cakrawala meditasi
dengan melatih mental spiritual. Salah satunya adalah shalat, yang merupakan
sarana mi'rajnya orang mukmin. Dengan shalat inilah kita menyadari bahwa kita
bertemu dengan Tuhan yang maha Agung.
Setelah memahami seluruh rangkaian pengetahuan yang saya tulis didalam setiap
artikel, mudah-mudahan kita mendapatkan hidayah dari Allah Swt

Tidak ada komentar: