Kamis, 26 Februari 2009

Membuka Hijab

Istilah hijab sebenarnya baru muncul setelah orang mulai serius mendalami
pengetahuan tentang ma'rifatullah, segala cara amalan ibadah diterapkan untuk
memudahkan sampainya seseorang kepada tingkat mukhlasin. Yaitu orang yang
benar-benar berada dalam keadaan rela dan menerima Allah sebagai Tuhannya
secara transenden. Amalan amalan ibadah yang mereka lakukan merupakan
kutipan-kutipan perintah ibadah sunnah maupun yang wajib. Sehingga mereka
menyakininya bahwa mutiara-mutira Al Qur'an itu memang benar adanya.
Hijab adalah tirai penutup, didalam ilmu tasawuf biasa disebut sebagai penghalang
lajunya jiwa menuju Khaliknya. Penghalang itu adalah dosa-dosa yang setiap hari
kita lakukan. Dosa merupakan kabut yang menutupi mata hati, sehingga hati tidak
mampu melihat kebenaran yang datang dari Allah. Nur Allah tidak bisa ditangkap
dengan pasti. Dengan demikian manusia akan selalu berada dalam keragu-raguan
atau was-was. Didalam bab ini saya tidak membahas masalah dosa seperti apa yang
saya sebut diatas. Karena ketertutupan atau terhijabnya kita atas keberadaan Allah
disebabkan ketidak tahuan (kebodohan) dan sangkaan (dzan) akan Allah yang
keliru. Maka dari itu saya hanya ingin membuka wawasan dalam hal ketidaktahuan
kita akan Allah, yaitu jawaban-jawaban Allah atas pertanyan kita selama ini
Seperti yang pernah saya katakan pada artikel bab hati, bahwa hati merupakan
pusat dari segala kemunafikan, kemusyrikan, dan merupakan pusat dari apa yang
membuat seorang manusia menjadi manusiawi. Dan pusat ini merupakan tempat
dimana mereka bertemu dengan Tuhannya. Merupakan janji Allah saat fitrah
manusia menanyakan dimanakah Allah? Lalu, Allah menyatakan diri-Nya berada
"sangat dekat", sebagaimana tercantum dalam Al Qur'an :
"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang "Aku" maka (jawablah)
Bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a
apabila berdo'a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-
Ku) dan hendaklah mereka itu beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam
kebenaran " (QS 2:186)
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya (QS
50:16)
Pertanyaan tentang keberadaan Allah sering kali kita mendapatkan jawaban yang
tidak memuaskan, bahkan kita mendapatkan cemoohan sebagai orang yang terlalu
mengada-ada. Menanyakan keberadaan "Tuhanku" adalah merupakan pertanyaan
fitrah seluruh manusia.
Allahpun mengetahui akan hal ini, sehingga Allah memberikan jawaban atas
pertanyaan hamba-hamba-Nya melalui Rasulullah.
Didalam ayat-ayat di atas, mengungkapkan keberadaan Allah sebagai "wujud" yang
sangat dekat. Dan kita diajak untuk memahami pernyataan tersebut secara utuh.

Maka dari itu jawaban atas pertanyaan "dimanakah Allah?". Al Qur'an
mengungkapkan jawaban secara dimensional. Jawaban-jawaban tersebut tidak
sebatas itu, akan tetapi dilihat dari perspektif seluruh sisi pandangan manusia
seutuhnya. Saat pertanyaan itu terlontar "dimanakah Allah ", Allah menjawab
"….Aku ini dekat ", kemudian jawaban meningkat sampai kepada "Aku lebih dekat
dari urat leher kalian…atau dimana saja kalian menghadap disitu wujud wajah-Ku
….dan Aku ini maha meliputi segala sesuatu."
Keempat jawaban tersebut menunjukkan bahwa Allah tidak bisa dilihat hanya dari
satu dimensi saja, akan tetapi Allah merupakan kesempurnaan wujud-Nya, seperti
didalam firman Allah :
"Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keragu-raguan tentang
pertemuan dengan Tuhan mereka. ingatlah bahwa sesungguhnya Dia maha meliputi
segala sesuatu. (QS 41:54)
"Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap
disitulah wajah Allah maha luas lagi maha mengetahui" (QS 2:115)
Sangat jelas sekali bahwa Allah menyebut dirinya "Aku" berada meliputi segala
sesuatu, dilanjutkan surat Al Baqarah ayat 115 ..dimana saja engkau menghadap
disitu wajah-Ku berada!!! Kalau kita perhatikan jawaban Allah, begitu lugas dan
tidak merahasiakan sama sekali akan wujud-Nya.
Namun demikian Allah mengingatkan kepada kita bahwa untuk memahami atas ilmu
Allah ini tidak semudah yang kita kira. Karena kesederhanaan Allah ini sudah dirusak
oleh anggapan bahwa Allah sangat jauh. Dan kita hanya bisa membicarakan Allah
nanti di alam surga. Untuk mengembalikan dzan kita kepada pemahaman seperti
yang diungkap oleh Al Qur'an tadi, kita hendaknya memperhatikan peringatan Allah,
bahwa Allah tidak bisa ditasybihkan (diserupakan) dengan makhluq-Nya.
Didalam kitab tafsir Jalalain ataupun didalam tafsir fi dzilalil qur'an, membahas
masalah surat Fushilat ayat 54, … Allah meliputi segala sesuatu … adalah ilmu atau
kekuasaan-Nya yang meliputi segala sesuatu, bukan dzat-Nya.
Pendapat ini merupakan tafsiran ulama, untuk mencoba menghindari kemungkinan
masyarakat awam mentasybihkan (menyerupakan) wujud Allah dengan apa yang
terlintas didalam fikirannya ataupun perasaannya. Sehingga "Allah" sebagai wujud
sejati ditafsirkan dengan sifat-sifat Nya yang meliputi segala sesuatu. Untuk itu,
saya huznudzan memahami pemikiran para mufassirin sebagai pendekatan ilmu dan
membatasi pemikiran para awam.
Akan tetapi kalau "Allah" ditafsirkan dengan sifat-sifat-Nya, yang meliputi segala
sesuatu. Akan timbul pertanyaan, kepada apanya kita menyembah? Apakah kepada
ilmunya, kepada kekuasaan-Nya atau kepada wujud-Nya? Kalau dijawab dengan
kekuasan-Nya atau dengan ilmu-Nya maka akan bertentangan dengan firman Allah :
"Sesungguhnya Aku ini Allah , tidak ada tuhan kecuali "Aku", maka sembahlah "Aku"
(QS 20:14)
Ayat ini menyebutkan "pribadinya" atau dzat Allah, kalimat … sembahlah "Aku". Ayat
ini menunjukkan bahwa manusia diperintahkan menghadapkan wajahnya kepada
wajah Dzat yang Maha Mutlak. Sekaligus menghapus pernyataan selama ini yang
justru menjauhkan "pengetahuan kita " tentang dzat, kita menjadi takut kalau
membicarakan dzat, padahal kita akan menuju kepada pribadi
Allah, bukan nama, bukan sifat dan bukan perbuatan Allah. Kita akan bersimpuh
dihadapan sosok-Nya yang sangat dekat.
Ungkapan tentang Tuhan, juga disebut sebagai dalil pertama yang menyinggung
hubungan antara dzat, sifat, dan af'al (perbuatan) Allah. Diterangkan bahwa dzat
meliputi sifat … sifat menyertai nama … nama menandai af'al. Hubungan-hubungan
ini bisa diumpamakan seperti madu dengan rasa manisnya, pasti tidak dapat
dipisahkan. Sifat menyertai nama, ibarat matahari dengan sinarnya, pasti tidak bisa
dipisahkan. Nama menandai perbuatan, seumpama cermin, orang yang bercermin
dengan bayangannya, pasti segala tingkah laku yang bercermin, bayangannya pasti
mengikutinya. Perbuatan menjadi wahana dzat, seperti samudra dengan ombaknya,
keadaan ombak pasti mengikuti perintah samudra.
Uraian di atas menjelaskan, betapa eratnya hubungan antara dzat, sifat, asma, dan
af'al Tuhan. Hubungan antara dzat, dan sifat ditamsilkan laksana hubungan antara
madu dan rasa manisnya. Meskipun pengertian sifat bisa dibedakan dengan
dzat..namun keduanya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Kalimat …. Allah meliputi segala sesuatu (QS 41:54) adalah kesempurnaan ..dzat ,
sifat, asma, dan af'al. Sebab kalau hanya disebut sifatnya saja yang meliputi segala
sesuatu, lantas ada pertanyan, "sifat" itu bergantung kepada apa atau siapa ? Jelas
akan bergantung kepada pribadi (Aku) yang memiliki sifat. Kemudian kalau sifat
yang meliputi segala sesuatu, kepada siapakah kita menghadap? Kepada Dzat atau
sifat Allah. Kalau sifat Allah sebagai obyek ibadah kita, maka kita telah tersesat,
sebab sifat, asma dan perbuatan Allah bukanlah sosok dzat yang Maha Mutlak itu
sendiri.
Semua selain Allah adalah hudust (baru),.karena "adanya" sebagai akibat adanya
sang Dzat. seperti adanya alam, adanya malaikat, adanya jin dan manusia. Semua
ada karena adanya dzat yang maha qadim. Seperti perumpamaan madu dan
manisnya, sifat manis tidak akan ada kalau madu itu tidak ada. Dan sifat manis itu
bukanlah madu. Sebaliknya madu bukanlah sifat manis. Artinya sifat manis
tergantung kepada adanya "madu". Apakah Dzat itu, … seperti apa? Apakah ada
orang yang mampu menjabarkan keadaannya ?
Singkat kata, dualitas berkaitan dengan sifat diskursus manusia tentang Tuhan.
Untuk bisa memahami Tuhan, kita harus mengerti keterbatasan-keterbatasan
konsepsi kita sendiri, karena menurut perspektif ketakperbandingan tak ada yang
bisa mengenal Allah kecuali Allah sendiri!!! Karena itu kita punya pengertian tentang
Tuhan, "Tuhan" konsepsi saya dan "Tuhan" konsepsi hakiki, yang berada jauh diluar
konsepsi saya. Tuhan yang dibicarakan berkaitan dengan "konsepsi saya". Konsepsi
Dzat yang hakiki tidak bisa kita fahami, baik oleh saya maupun anda. Karena itu kita
tidak bisa berbicara tentangnya secara bermakna. bagaimana kita bisa memahami
tentang Dia, sedang kata-kata yang ada hanya melemparkan kita keluar dari seluruh
konsepsi manusia. Seperti, Al awwalu wal akhiru (Dia yang Awal dan yang akhir),
Dia yang tampak dan yang tersembunyi (Al dhahiru wal bathinu), cahaya-Nya tidak
di timur dan tidak di barat (la syarkiya wa la gharbiya), tidak laki-laki dan tidak tidak
perempuan, tidak serupa dengan ciptaan-Nya dst….
Kenyataan Tuhan tidak bisa dikenal dan diketahui berasal dari penegasan dasar
tauhid `laa ilaha illallah atau laisa ka mistlihi syai'un' (tidak sama dengan sesuatu).
Karena tuhan secara mutlak dan tak terbatas benar-benar dzat maha tinggi,
sementara kosmos berikut segala isinya hanya secara relatif bersifat hakiki, maka
realitas Ilahi berada jauh diluar pemahaman realitas makhluq. Dzat yang maha
mutlak tidak bisa dijangkau oleh yang relatif.
Kita dan kosmos (alam) berhubungan dengan tuhan melalui sifat-sifat Ilahi yang
menampakkan jejak-jejak dan tanda-tandanya dalam eksistensi kosmos. Kita tidak
bisa mengenal dan mengetahui Tuhan dalam dirinya sendiri, tetapi hanya sejauh
Tuhan mengungkapkan diri-Nya melalui kosmos (sifat, nama, af'al). Firman Allah:
"Dialah Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia, Dia mempunyai nama-nama yang
yang indah "(QS 20:8)
Sifat, nama, dan af'al, secara relatif bisa dirasakan dan difahami "maknanya". Akan
tetapi "Dzat", adalah realitas mutlak. Dan untuk memahami secara hakiki harus
mampu memfanakan diri, ... yaitu memahami keberadaan makhluq adalah tiada….
Untuk lebih jelasnya akan saya berikan perumpamaan keberadaan alam dan yang
menciptakan.
Ketika kita melihat kereta api berjalan diatas rel, terbetik dibenak kita suatu
pertanyaan. Bagaimana roda-roda yang berat itu bisa bergerak dan lari. Tak lama
kemudian kita akan sampai kepada pemikiran tetang alat-alat dan mesin-mesin
itulah yang menggerakkan roda yang berat itu. Adakah setelah itu kita dibenarkan
jika berpendapat bahwa alat kereta itu sendiri yang menggerakkan kereta tersebut.
Perkaranya tidak semudah itu, sebab kita tidak boleh mengabaikan bahwa disana
ada masinis yang mengendalikan mesin. Kemudian ada insinyur yang menciptakan
rancangan dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan, maka pada hakekatnya tak
ada wujud bagi kereta itu, dan tidaklah mungkin terjadi gerakan dan perputaran
pada roda-roda tanpa kerja insinyur. Mesin-mesin itu bukanlah akhir dari cerita
sebuah kereta api, akan tetapi hakikat yang paling akhir adalah "akal" yang telah
mengadakan mesin itu, kemudian menggerakkan menurut rencana yang telah
dipersiapkan.
Mengikuti ilustrasi realitas kereta api, mulai dari gerbong yang digerakkan oleh rodaroda,
kemudian roda-roda digerakkan oleh mesin, mesin digerakkan oleh masinis,
dan semua itu direncanakan, oleh yang menciptakan yaitu insinyur. Pertanyaan
terakhir adalah : "Mungkinkah roda-roda, mesin, dan alat-alat kereta api itu mampu
melihat yang menciptakan?" Jawabannya adalah insinyur itu sendiri yang
mengetahui akan dirinya, sebab kereta api dan insinyur berbeda keadaan dan bukan
perbandingan….
Realitas instrumen kereta api tidak ada satupun yang serupa jika dibandingkan
dengan keadaan realitas insinyur. Kemudian mengetahui keadaan realitas kereta api
dari awal sampai akhir, merupakan kefanaan atau penafian bahwa realitas kereta api
adalah ciptaan semata.
Firman Allah :
"(yang memiliki sifat-sifat yang..) Demikian itu ialah Tuhan kamu. Tidak ada Tuhan
selain Dia. pencipta segala sesuatu maka sembahlah Dia, dan Dia adalah pemelihara
segala sesuatu. Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat
melihat segala yang kelihatan. Dan Dialah yang maha halus lagi maha mengetahui" (
QS 6:102-103)
Realitas bahwa Dzat tuhan tidak bisa dibandingkan dengan sesuatu (QS 26:11) ...
berlaku sampai diakhirat kelak. Walaupun Tuhan sendiri mengatakan bahwa manusia
di alam surga akan melihat realitas Tuhan secara nyata atas eksistensi Allah, bukan
berarti kita melihat dengan perbandingan pikiran manusia … yang dimaksud melihat
secara hak disini adalah kesadaran jiwa muthmainnah yang telah lepas dari ikatan
alam atau kosmos.
Atau biasa disebut "fana", keadaan ini manusia dan alam seperti keadaan sebelum
diciptakan yaitu keadaan masih kosong 'awang uwung' (jawa), kecuali Allah sendiri
yang ada. Tidak ada yang mengetahui keadaan ini kecuali Allah sendiri.
Keadaan awal (Al Awwalu) tidak ada yang wujud selain Allah, tidak ada ruang, tidak
ada waktu, tidak ada alam apapun yang tercipta. Untuk mengetahui keadaan seperti
ini marilah kita ikuti kisah nabi Musa As. Firman Allah :
"Dan tatkala Musa datang (untuk munajat) dengan Kami, pada waktu yang telah
Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya. Berkatalah Musa :
ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku. Agar aku dapat melihat kepada
Engkau. Tuhan berfirman: kamu sekali-sekali tidak sanggup melihat-Ku, tetapi
melihat-lah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya (sebagaimana sediakala)
niscaya kamu dapat melihat-Ku. Tatkala Tuhannya nampak bagi gunung itu,
kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan, maka
setelah Musa sadar kembali dia berkata. Maha Suci Engkau, dan aku bertaubat
kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman …" (QS 7:143)
Ada yang menarik dalam peristiwa "pertemuan" nabi Musa ... dan saya hubungkan
dengan pembahasan mengenai keadaan "kefanaan" manusia dan alam. Yakni
keadaan hancur luluh lantak keadaan gunung Thursina dan keadaan Musa jatuh
pingsan!!! Setelah gunung itu hancur dan Musa-pun jatuh pingsan, tidak satupun
yang terlintas realitas apapun didalam perasan Musa dan fikirannya, kecuali ia tidak
tahu apa-apa. Yaitu realitas konsepsi manusia dan alam tidak ada (fana). Dalam
keadaan inilah Musa melihat realita Tuhan, bahwa benar Tuhan tidak bisa
dibandingkan oleh sesuatu apapun. Kemudian Musa kembali sadar memasuki realitas
dirinya sebagai manusia dan alam. Musa berkata :aku orang yang pertama-tama
beriman..dan percaya bahwa Allah tidak seperti konsepsi "saya".
Setelah kita mengetahui dan faham akan Dzat, sifat, dan af'al Allah, teranglah fikiran
dan batin kita, sehingga secara gamblang kedudukan kita dan Allah menjadi jelas,
yaitu yang hakiki dan yang bukan hakiki. Terbukalah mata kita dari ketidaktahuan
akan Dzat. Ketidaktahuan inilah yang saya maksudkan dengan tertutupnya hijab,
sehingga perlu disadarkan oleh kita sendiri dan kemudian mengenal-Nya (ma'rifat)
Syekh Ahmad bin `Athaillah, didalam Al Hikam menyebutkan bahwa :
"Tiada sesuatu benda yang menghijab engkau dari Allah, tetapi yang menghijab
engkau adalah persangkaanmu adanya sesuatu disamping Allah, sebab segala
sesuatu selain dari Allah itu pada hakikatnya tidak maujud (tidak ada) sebab yang
wajib ada hanya Allah, sedang yang lainnya terserah kepada belas kasihan Allah
untuk diadakan atau ditiadakan".
Seorang arif berkata : "Adanya makhluq semua ini bagaikan adanya bayangan
pohon di dalam air. Maka ia tidak akan menhalangi jalannya perahu. Maka hakikat
yang sebenarnya tiada sesuatu benda apapun yang maujud disamping Allah untuk
menghijab engkau dari Allah. Hanya engkau sendiri mengira bayangan itu sebagai
sesuatu yang maujud."
Ibarat seseorang yang bermalam disuatu tempat, tiba-tiba pada malam hari ketika ia
akan buang air, terdengar suara angin yang menderu masuk lobang sehingga persis
sama dengan suara harimau, maka ia tidak berani keluar. Tiba pada pagi hari ia
tidak melihat bekas-bekas harimau, maka ia tahu bahwa itu hanya tekanan angin
yang masuk ke lobang, bukan tertahan oleh harimau, hanya karena perkiraan
adanya harimau.
Sang Syekhk berkata : "andaikan Allah tidak dhahir pada benda-benda alam ini,
tidak mungkin adanya penglihatan pada-Nya. Dan andaikan Allah tidak
mendhahirkan sifat-sifat-Nya, pasti lenyaplah alam benda-benda. Ketika Allah
bertajalli kepada gunung, hancurlah gunung itu, sedang Musa jatuh pingsan … "
Pertanyaan demi pertanyaan timbul dari ketidaktahuan (hijab), kenyataaan bahwa
Allah sangat dekat … tertutup oleh kebodohan ilmu kita selama ini. Allah seakan jauh
diluar sana …sehingga kita tidak merasakan kehadiran-Nya yang terus menerus
berada dalam kehidupan kita. Dari keterangan diatas menyimpulkan bahwa kita
ternyata telah salah kaprah mengartikan sosok dzat selama ini, yang kita sangka
adalah konsepsi "saya", bukan konsepsi hakiki, yaitu wujud yang tak terbandingkan
oleh perasaan, pikiran , mata hati, dan seterusnya. Allah kita adalah Allahnya Musa,
... Allahnya Ibrahim, ... dan Allahnya Muhammad … yaitu yang Maha tak terjangkau
oleh apapun…
Kini saatnya kita bertakbir tertuju kepada dzat …bukan kepada sifat … (fa' bud nii)
sembahlah AKU …, sehingga fanalah "diri" dan semesta.
Tafakkur dan Meditasi Transendental
Setelah kita mengetahui dan mengenal Allah secara ilmu, maka semakin mudahlah
kita untuk memulai berkomunikasi dan berjalan menuju kepada-Nya. Kita telah
meyakini bahwa kita akan kembali kepada-Nya sekarang ... bukan besok !
Firman Allah :
"Hai manusia, sesungguhnya engkau berusaha sungguh-sungguh menuju kepada
Tuhanmu, maka engkau akan menemuinya". (QS 84:6)
"ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keragu-raguan tentang
pertemuan dengan tuhan mereka. Ingatlah bahwa Allah maha meliputi segala
sesuatu". (QS 41:54).
Didalam ayat lain dikatakan, bahwa shalat itu adalah pekerjaan yang amat sulit,
kecuali bagi orang yang khusyu'. Siapakah orang yang khusyu' itu, ialah orang yang
mempunyai sangkaan bahwa ia akan bertemu dengan Allah dan mereka adalah
orang yang kembali kepada Allah. Rajiun artinya; orang yang kembali
(kedudukannya sebagai fa'il), bukan yang akan kembali.
Kekhusyu'an shalat dan ibadah-ibadah yang lainnya tidak akan bisa dicapai, kalau
kita tidak mengerti ilmu tauhid, yaitu mengerti akan Allah secara hakiki. Dasar
tauhid inilah yang menjadi bekal kita untuk menuju tawajjuh kepada Allah, dan
merupakan jalan yang membedakan dari peribadatan-peribadatan agama lain selain
Islam.
Pada tatanan fenomena fisik dan psikis, mungkin kita akan mengalami kesamaan
dengan perjalanan meditator … penyembuh, pastor, atau pendeta … biksu yang
tekun beribadah … atau kadang juga sama dengan penggali spiritual yang tidak
menggunakan pengertian ke-Tuhanan sama sekali …
Pengalaman-pengalaman ini bukanlah penentu sebuah kebenaran spiritual tertentu.
Akan tetapi hal ini, seperti keadaan ilmu-ilmu yang lainnya yang bersifat universal,
seperti perasaan rindu …cinta … sedih … bahagia dan ketenangan. Keadaan ini bisa
disebut sebagian dari pengalaman perasaan rohani. Yang tidak bisa kita klaim
sebagai milik orang Islam saja..atau orang kristen ... dan yang lain.
Banyak pendeta yang berdoa di gereja memohon kesembuhan bagi si penderita sakit
parah ... ia bisa sembuh …pendeta Budha pun demikian ... dan tidak sedikit pula dari
kalangan Islam yang bukan kyai bisa berdoa untuk yang sakit, ... iapun bisa
sembuh.
Dari sudut pandang psikolgi modern, tafakkur termasuk bagian dari psikologi
berfikir. Lapangan sentral kajian psikologi tradisional pada masa-masa sebelum
aliran behaviorisme mendominasi psikologi. Pada masa-masa awal, psikologi banyak
terfokuskan pada studi sekitar pikiran, kandungan perasaan, dan bangunan akal
manusia. Pembahasan masalah belajar hanya dikaji melalui tema-tema tersebut,
kemudian muncul aliran behaviorisme dengan konsep-konsepnya yang terkenal.
Aliran ini, akhirnya mengubah secara besar-besaran pandangan-pandangan
sebelumnya, kemudian menempatkan kajian mengenai proses belajar manusia,
melalui rangsangan dan respon yang timbul, menjadi tema utama psikologi.
Perasaan, kandungan akal, dan pikiran dianggap sebagai masalah yang tidak dapat
dijangkau dan dipelajari secara langsung, sebagaimana juga metode yang dipakai
untuk mempelajarinya, seperti metode intropeksi, dikritik karena tidak dapat
dibuktikan secara empiris. Para penganut faham behaviorisme menginginkan
psikologi sebagai ilmu empiris berdasarkan fenomena-fenomena lahiriah yang dapat
dikaji dilaboratorium. Menurut mereka, segala kegiatan kognitif dan perasaan yang
ada dan terjadi dalam benda-benda hidup merupakan akibat dari interaksinya
dengan pengaruh-pengaruh tertentu.
Kegiatan-kegiatan "pikiran dalam" itu, mereka anggap sebagai suatu peti terkunci
yang bagian dalamnya tidak mungkin diketahui dengan jelas. Karena itu, tidak perlu
menghabiskan waktu untuk mempelajarinya. Adapun berbagai respon dan
tanggapan yang timbul akibat kegiatan dalam yang dapat diukur dan diamati,
merupakan pusat perhatian kajian ilmiah empiris mereka.
Hal yang lebih pelik dan kompleks bagi kita, orang Islam, adalah bahwa salah satu
unsur pembentukan perilaku manusia terpenting telah ditinggalkan oleh psikologi
barat modern, meskipun banyak penemuan modern telah membuktikan pentingnya
unsur tersebut, yaitu unsur spiritual. Psikologi modern hanya berpegang pada unsur
psikologis, biologis sosial dan kultural sebagai unsur-unsur pembentukan perilaku
manusia, dengan alasan, mudah didefinisikan jika dibandingkan dengan sisi spiritual.
Selain itu, ia juga menolak segi spiritual karena dianggap tumbuh dari pandangan
agama.
Sebagian kalangan Islam juga menolak pentingnya tafakkur, yang merupakan unsur
penting dari suatu agama disamping tatanan hukum syariat. Mereka menganggap
perbuatan itu adalah bid'ah.
Awal dari segala perbuatan adalah kegiatan berfikir dan kognitif dialam sadar.
Berdasarkan hal itu, orang selalu berfikir panjang dan mendalam atau bertafakur
sehingga dengan mudah melaksanakan segala ibadah dan ketaatan lainnya. Dalam
hal ini Al Ghazaly dalam Ihya'nya mengatakan: "Jika ilmu sudah sampai dihati,
keadaan hati akan berubah, jika hati sudah berubah, perilaku anggota badan akan
berubah. Perbuatan mengikuti keadaan (hal), keadaan mengikuti ilmu, dan ilmu
mengikuti pikiran, oleh karena itu pikiran adalah awal dan kunci segala kebaikan,
dan yang menyingkapkan keutamaan tafakkur. Pikiran lebih baik daripada dzikir,
karena pikiran adalah dzikir plus". (Abu Hamid Al Ghazaly, Ihya' ulumuddin jilid IV
hal. 389)
Sebagaimana kegiatan berfikir adalah kunci kebaikan dan amal shaleh, ia juga
merupakan segala perbuatan lahir dan batin. Oleh karena itu, hati yang selalu
merenung atau bertafakkur tentang ketinggian dan keagungan Allah Swt, serta
memikirkan kehidupan akhirat, akan dapat membongkar dengan mudah niat-niat
jahat yang terlintas dalam benaknya. Karena, ia memiliki kepekaan dan ketajaman
sebagai hasil dzikir dan tafakkurnya yang berkesinambungan itu. Setiap kali terlintas
suatu niat jahat atau buruk kedalam hati, maka pikiran, perasaan dan pandangan
baiknya dapat segera mengetahui dan menguasainya, lalu menghancurkan
keberadaannya. Seperti anggota badan yang sehat dapat menolak dan
menghancurkan penyakit yang mencoba menghinggapinya.
Seorang yang alim yang menyambung malam dan siang dengan tafakkur tentang
keagungan Allah, tentang kehidupan dunia dan akhirat adalah seorang yang terjaga.
Manakala terlintas sedikit saja niat jelek yang mencoba menghampirinya, api
kebaikan akan menghantamnya atau membakarnya, seperti lemparan api yang
menjaga langit dari intaian syetan yang hendak mencuri pendengaran;
"sesungguhnya orang-orang yang bertakwa apabila mereka ditimpa was-was dari
syetan, mereka mengingat Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahankesalahannya"
(QS 7:201)
Jadi, tafakkur memanfaaatkan segala fasilitas pengetahuan yang digunakan manusia
dalam proses berfikir. Tafakkur adalah menerawang jauh dan menerobos alam dunia
kedalam alam akhirat, dari alam ciptaan menuju kepada pencipta. Loncatan inilah
yang disebut al ibrah, melihat jauh sarat pengetahuan.
Berfikir kadang hanya terbatas, pada upaya memecahkan masalah-masalah
kehidupan dunia, yang mungkin terlepas dari emosi kejiwaan, sedang tafakkur dapat
menerobos sempitnya dunia ini menuju alam akhirat yang luas, keluar dari belenggu
materi menuju alam spiritual yang tiada batas. Mungkin hal ini yang dimaksudkan
oleh psikolog sebagai kecerdasan jiwa yang hebat.
Tafakkur dapat menggerakkan semua kegiatan kognitif serta pikiran dalam dan luar
seorang mukmin. Dr. Malik Badri, ahli psikoterapi dari Sudan berpendapat,
perwujudan tafakkur memiliki dan melalui tiga fase dan berakhir pada fase keempat,
yang disebut istilah "syuhud". Diawali dengan pengetahuan yang didapat dari
persepsi empiris yang langsung. Melalui alat pendengaran, alat raba, atau alat indra
lainnya. Atau dengan tidak langsung, seperti pada fenomena imajinasi, atau kadang
pengetahuan rasional yang abstrak. Sebagian besar pengetahuan ini tidak ada
hubungannya dengan emosi atau sentimen.
Kalau seseorang memperdalam cara melihat dan mengamati sisi keindahan,
kekuatan, keistimewaan lainnya yang dimiliki sesuatu, berarti ia telah berpindah dari
pengetahuan dingin menuju rasa kekaguman akan keagungan ciptaan, susunannya
rapi, pemandangannya yang indah. Fase ini adalah fase kedua, fase tempat
bergejolaknya perasaan. Kalau dengan perasaan ini ia berpindah menuju sang
pencipta dengan penuh kekhusyu'an sehingga dapat merasakan kehadiran Allah dan
sifat-sifat-Nya yang tinggi, berarti ia sudah berada pada fase ketiga. Sekadar dapat
memandang dan menyaksikan ciptaan-Nya tidak lebih dari fase awal yang primitif,
pada fase ini antara pandangan seorang mukmin dan orang kafir tidak ada bedanya.
Fase kedua, yaitu fase tadhawwuk, pengungkapan rasa kekaguman terhadap ciptaan
atau susunan alam yang indah, fase ini dapat dirasakan, baik oleh orang mukmin
maupun oleh orang kafir, tanpa mellihat sisi keimanan atau sisi kekufuran. Akan
tetapi, pada fase pengetahuan ketiga yang menghubungkan antara perasaan akan
keindahan ciptaan dan kerapian tatanan alam dengan penciptanya yang maha agung
dan maha tinggi, merupakan nikmat besar yang hanya dapat dirasakan oleh orang
mukmin.
Fase-fase tersebut merupakan perjalanan yang akan dialami oleh setiap orang yang
melakukan tafakkur. Pada fase-fase ini adakalanya orang hanya sampai kepada
keadaan primitif yaitu fenomena alam, baik yang kasat mata maupun yang abstrak
(ghaib), yang oleh orang tertentu dimanfaatkan untuk melihat (kasyaf), yang lebih
halus, pengobatan, dan kekuatan yang luar biasa.
Sarana - sarana Tafakkur
Di dalam fenomena meditasi transendental pemusatan fikiran dengan mengulangulang
suatu gambaran pikiran tertentu atau makna suatu keyakinan (dzikir, mantra)
memiliki nilai besar bagi orang yang melakukannya. Hal ini akan menghantarkannya
pada angan-angan atau gambaran yang sangat dalam dan pada konsep-konsep baru
tentang sesuatu obyek pikir atau meditasi, lalu naik pada tingkatan bayangan dan
gambaran yang paling sulit didapat dalam kehidupan rutin yang terbatas. Oleh
karena itu pengalaman ini disebut meditasi transendental.
Pada mulanya tafakkur, meditasi transendental berlaku universal, pengalamanpengalaman
serta pengaruh yang dirasakan sama, apakah itu metode yang yang
digagas oleh Hindu, Budha, Kristen dan Islam. Diantaranya yang dilakukan dalam
meditasi ialah, pengosongan pikiran dan melupakan segala keruwetan dalam benak
yang dapat mengganggu proses meditasi dan konsentrasi pada obyek meditasi. Ia
harus kembali mengonsentrasikan pikiran pada "apa" yang ia pilih sebagai obyek
pikiran dan meditasinya. Ia harus mengambil posisi duduk pasif yang rileks. Latihan
ini harus selalu diulang-ulang, sehingga hari demi hari meditasi dan berfikirnya
menjadi lebih dalam, badan terasa lebih ringan, fikiran menjadi bersih, jiwa menjadi
sangat luas tak terbatas. Bersamaan dengan itu, hilang pula segala perasaan gelisah
,sedih, galau, dan segala gangguan jasmani yang dirasakan sebelumnya.
Seorang mukmin akan mudah menemukan cara meditasi semacam ini, karena
metode ini memiliki kesamaan yang jelas dengan proses tafakkur tentang penciptaan
langit dan bumi yang disertai dzikir dan bertasbih kepada obyek yang maha tak
terjangkau yaitu Allah, baik berdiri, duduk rileks, berbaring. Kesamaannya terletak
pada upaya pengkonsentrasian pikiran pada obyek tertentu, ada yang menggunakan
patung, irama musik, roh suci, mantra-mantra suci, dan membayangkan wujud
syekh atau guru pembimbing spiritual. tujuannya adalah upaya melepaskan atau
menjauhkan dari pengaruh yang mengganggu konsentrasi, keruwetan angan-angan
fikiran, perasaan, ataupun kebisingan dan keramaian.
Keduanya juga sejalan dalam hal latihan,proses melihat dan mengulang kata-kata
(dzikir), atau makna obyek meditasi. Oleh karena, itu seseorang yang bertafakkur
bertasbih, dan bermeditasi dapat menangkap makna dan pengetahuan baru yang
sebelumnya tidak terlintas dalam hati. Keduanya mengunakan kedalaman tafakkur
untuk membersihkan pengetahuan lahiriah dari belenggu penjara rutinitas kehidupan
material menuju kebebasan menatap lepas keatas, menuju pengetahuan yang luas
tak terbatas.
Kita akan berada di luar badan kecil ini, menjadi jiwa yang tidak terikat, mempunyai
keluasan wujud dan kemampuan "melihat tanpa bola mata", "mendengar tanpa daun
telinga" dan merasakan keuniversalan jiwa yang tak terbatas oleh waktu dan ruang.
"Inilah jiwa" yang memiliki "watak" yang sama dengan jiwa-jiwa lainnya; dimana hal
yang membedakan adalah "kemana akhir kembalinya jiwa".
Ada beberapa jalan yang digunakan orang untuk melakukan meditasi yaitu menatap
dengan pikiran kepada suatu obyek yang diyakininya. Serta sensasi yang
mempengaruhi terhadap perilakunya. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh
Eckankar, didapatkan suatu sensasi yang terjadi pada pelaku meditator, dari seluruh
aliran spiritual yang ada di dunia. Eckankar menamainya kalam semesta Ilahi. Ada
jenis tahapan, serta kata-kata yang dijadikan sarana untuk tafakkur, jenis
pengelompokan, suasana yang dirasakan didalam spiritual, serta penjelasan dan
manfaatnya. (lampiran)
Eckankar membawa kesadaran kita menuju alam spiritual dan batasan-batasan yang
dicapai oleh para meditator. Betapa ia sangat teliti dan hati-hati dalam
mengungkapkan "keadaan" atau suasana yang dialami oleh spiritualis,
pengelompokan dan tahapan-tahapan agar menjadi "catatan" bagi para pemula
didalam menjalani "laku spiritual", terutama obyek apa yang digunakan dalam
menghantarkan jiwa kembali kepada eksistensi diri sejati.
Islam menempatkan "Allah" sebagai obyek yang tak terbandingkan merupakan
sarana membebaskan jiwa dari ikatan dan pengaruh alam yang dilaluinya, sehingga
jiwa yang terlepas dari alam, mustahil syetan dan jin mampu menembus alam jiwa
yang bebas (ikhlas). Firman Allah :
"Iblis menjawab: demi kekuasaan Engkau ,aku akan menyesatkan mereka semua.
Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis diantara mereka" (QS 38:82-83)
Pada alam inilah "jiwa " mencapai puncak kesempurnaan spiritual tertinggi, dan
Allah-pun memanggilnya kembali kesisi-Nya.
"Wahai jiwa yang tenang (yang tidak terikat oleh syahwatnya)…" "Kembalilah kamu
kepada Tuhanmu dengan rela dan meridhai" "Dan masuklah kamu kedalam syurga-
Ku" (QS 89:27-30)
Pada tahapan ini Eckankar tidak mengungkapkan lebih lanjut keberadaan jiwa sejati,
ia hanya mengatakan "di atas the sugmad adalah masih banyak tahapan yang belum
terwujud".
Pada tahapan kesepuluh "Anami lok", dan kata-kata yang digunakan sebagai objek
spiritual adalah "HU" (Hua), (dari konsep laa ilaha illa hua ... tiada Tuhan kecuali
Dia) dia yang tak terbandingkan oleh sesuatu. Suatu konsep qur'ani yang
membedakan dari jalan spiritual manapun dan akan terhindar dari jebakan
kebisingan intuisi alam materi, yang banyak dipenuhi 'anak-anak syetan' yang
menempati setiap ruang angkasa spiritual.
Dilanjutkan kepada tahapan sebelas "alam sugmad" dan tahapan duabelas "sugmad"
yaitu tidak ada lagi kata-kata yang digunakan (sir) yaitu keadaan samudra cinta dan
kalam Ilahi yang mengalir kepada jiwa muthmainnah (jiwa yang telah terbebas dari
ikatan segala macam alam).
Kemenangan perjuangan Rasulullah menghadapi tantangan dan gangguan syetan
saat beliau pergi mi'raj dengan kekuatan jiwa muthmainnah sabda Nabi:
"Orang yang gagah berani bukanlah orang yang dapat menyerbu musuhnya dengan
tangkas dalam pertempuran, akan tetapi orang yang gagah berani itu sebenarnya
yang kuasa dan mampu menahan hawa nafsunya" (al hadist)
"Kalaulah syetan-syetan itu tidak berkerumun di hati Bani Adam, niscaya mereka
dapat memandang ke alam ghaib (abstrak)" (Hr Ahmad dari abu Hurairah)
Pada tahapan tertinggi (Al A'raaf), kita akan mampu melihat fenomena-fenomena
alam di bawah, seperti intuisi yang ditimbulkan oleh halusinasi, fikiran, perasaan,
dan getaran gelombang-gelombang pendek, yang dihembuskan syetan dan jin.
Sebab jiwa telah melampaui tahapan-tahapan dari ikatan seluruh alam semesta
menjulang menuju yang bukan alam, yaitu Dzat yang maha mutlak.
Firman Allah :
"Sesungguhnya orang-orang yag bertaqwa apabila mereka ditimpa was-was dari
syetan, mereka mengingat Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahankesalahannya"
(QS 7:201)
"Syetan-syetan itu tidak dapat mendengarkan (pembicaraan) para malaikat (alam
yang tinggi) dan mereka dilemparkan dari segala penjuru" (QS 37:8)
"Sesungguhnya syetan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman
dan bertawakkal kepada Allah. Sesungguhnya kekuasaannya (syetan) hanyalah atas
yang mengambilnya pemimpin dan atas orang yang mempersekutukannya dengan
Allah" (QS 16:99-100)
Pada ayat-ayat ini dijelaskan bahwa apabila obyek meditasinya bukan tertuju kepada
yang tak terhingga, yaitu zat yang tidak sama dengan makhluq-Nya, maka selain itu
adalah wilayah syetan dan anak cucunya yang siap menerkam jiwa-jiwa yang
tersesat. Maka jangan heran banyak ahli dzikir yang menyimpang seakan ia
mendapatkan ilham dari Allah dan kemudian mengaku sebagai nabi, sebagai imam
mahdi dan wali Allah. Dan dengan seenaknya ia meninggalkan perintah-perintah
Allah, tidak shalat, tidak zakat, dan berperilaku kharikul 'adah (keluar dari ketentuan
syariat Allah).
Untuk diketahui bahwa orang yang sampai kepada Allah adalah orang yang mampu
menangkap ilham-ilham Allah dan itu tidak akan bertentangan dengan perintah yang
tertulis dalam Al Qur'an dan Al sunnah.
Kesombongan dan keangkuhan merupakan bukti keadaan jiwa masih terikat oleh
pengaruh alam ciptaan. Untuk itu islam menolak didalam ibadahnya menggunakan
sarana yang bukan Allah, seperti pembayangan guru, wasilah rasul, dan mantramantra,
untuk menghantarkan jiwanya menuju Allah. Hal ini mustahil akan sampai
kepada Allah yang maha mutlak, sebab bayangan sesuatu hanya akan
menyampaikan jiwa menuju alam yang paling rendah yaitu alam-alam halusinasi,
kekuatan alam, kekuatan jin dan syetan. Walaupun ia menggunakan sarana kalimat
thayyibah (misalnya "Allah, laa ilaha illah, subhanallah"), kalimat-kalimat ini bukan
sekedar kata-kata yang tidak mempunyai makna, seperti para meditator ketika
memulainya meditasi menggunakan sarana bayangan roh suci, patung dan mantramantra
suci, maka hasilnya akan menjadi sama saja dengan mereka. Hanya sampai
kepada pemuasan rasa tenang dan bahagia semata dan memanfaaatkan fenomenafenomena
kekuatan ghaib untuk atraksi kekuasaan dan ke"aku"an manusia. Alam ini
masih termasuk dunia syahwat.
Selama ilmu kita mengenai Tuhan terbatas kepada apa yang dibayangkan oleh
pikiran dan perasaan sebagai obyek meditasi, selama itu pula kita berkutat dalam
dunia spiritual yang menyimpang dari ketentuan Islam.
Didalam akhir bab ini mari kita perhatikan firman-firman Allah tentang perdebatan
kecil antara Allah dan syetan:
Allah berfirman : Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah
Ku- ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah
kamu merasa termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi ?
Iblis berkata : Aku lebih baik dari padanya, karena Engkau ciptakan aku dari api,
sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.
Allah berfirman: maka keluarlah kamu dari syurga, sesungguhnya kamu adalah
orang yang terkutuk. Sesungguhnya kutukan-Ku tetap atas kamu sampai hari
pembalasan.
Iblis berkata: Ya Tuhanku … beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan.
Allah berfirman: sesungguhnya kamu termasuk orang yang diberi tangguh. Sampai
hari yang telah ditentukan waktunya (hari qiyamat)
Iblis menjawab: Demi kekuasaan Engkau..aku akan menyesatkan mereka semua.
Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis diantara mereka…. (QS 38:75-83)
Demikian penjelasan keadaan atau suasana meditasi, serta tanjakan-tanjakan yang
banyak dilalui orang didalam bermeditasi atau tafakkur yang bersifat universal. Hal
yang membedakan adalah, akhir dari perjalanan jiwa tersebut yaitu kembali pasrah
kepada Allah yang maha mutlak (ber-Islam = berserah diri secara total)..Inna lIlahi
wa inna ilaihi raji'un…..(tidak berhenti pada tahapan-tahapan alam)
Pada bab berikutnya saya akan mengajak anda membuka cakrawala meditasi
dengan melatih mental spiritual. Salah satunya adalah shalat, yang merupakan
sarana mi'rajnya orang mukmin. Dengan shalat inilah kita menyadari bahwa kita
bertemu dengan Tuhan yang maha Agung.
Setelah memahami seluruh rangkaian pengetahuan yang saya tulis didalam setiap
artikel, mudah-mudahan kita mendapatkan hidayah dari Allah Swt

Kaspo thok ! ! !

Sudjak pamitan ambek bojone kate tuku rokok sedhiluk. Mari tuku rokok,
dhadhak Sudjak kepethuk bekas pacare biyen.
Gak keroso enak-enak sir siran dhadhak wis jam rolas bengi.
”Waduh blaen iki, isok mencak-mencak bojoku. Aku njaluk wedhakmu
sithik.” jare Sudjak ndhik bekas pacare.
Mari njaluk wedhak, Sudjak pamitan mulih.
”Ndhik endhi ae peno iku Cak, tuku rokok nang Hongkong tah ?” bojone
mulai purik.
”Ngene lho dhik, mari tuku rokok aku pethuk cewek ayu terus dijak sir
siran sampek lali mulih” jare Sudjak.

”Cak.. cak.. modelmu ae athik sir siran barang.. sik ndhelok tanganmu
!!!” jare bojone Sudjak.
Pas didhelok, tangane Sudjak putih kabeh. ”Kaspo thok . .!!! Mene
sampek konangan karambol maneh awas kon yo !!!”

Senin, 23 Februari 2009

Berguru Kepad Alloh

Kalimat "berguru kepada Allah" terasa asing di telinga kebanyakan orang. namun
saya terdorong untuk menggunakannya sebagai topik bahasan yang ingin saya
paparkan. Saya melihat dari sisi yang lain dari setiap pengajaran suatu ilmu yang
disampaikan oleh para guru maupun para pakar. Mereka adalah orang-orang yang
mendapatkan ilmu dari membaca buku yang tersusun dari huruf-huruf maupun
membaca dari setiap kejadian-kejadian unik dari fenomena alam semesta ini.
Apabila kita perhatikan surat Al 'Alaq ayat 1-5, Allah menjelaskan apa yang
dimaksud dengan kata "membaca" :
"Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah , Bacalah, dan Tuhanmu Yang Maha
Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam, Dia mengajarkan
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya" (QS 96:1-5)
Ayat di atas jelas sekali bagaimana Allah mengajarkan membaca dengan melihat
suatu kejadian penciptaan "manusia" mulai dari bentuk mudhgah (segumpal darah)
hingga menjadi bentuk manusia yang sempurna. Kalau kita runtun serangkaian
kejadian tersebut dengan teliti dan kita bisa ceritakan kembali kepada orang lain
maka secara tidak sadar kita telah mengajarkan sebuah "ilmu". Dan kalau kita
khususkan lebih dalam penelitian kita atas peristiwa kelahiran manusia mungkin kita
akan lebih banyak mengetahui seperti halnya kejadian yang akan kita perhatikan.
Ovum atau sel reproduksi wanita yang telah dewasa itu ditempatkan dalam jaringan
yang berbentuk bisul di permukaan indung telur. Pada saatnya yang tepat,
terbukalah pintu, dan ovum itu bergerak maju kebagian ruang peranakan. Sangat
mengherankan, sel tersebut tidak musnah di sini, tetapi diarahkan ke ujung saluran
indung telur, yaitu satu pipa saluran menuju kandungan.
Ovum atau sel reproduksi wanita didorong kedalam kandungan melalui saluran
indung telur dengan sejumlah besar jari-jari halus yang menyapu sel itu dan
menggerakkannya. Sementara sel tersebut melewati saluran indung telur, maka
sekarang ia dapat bertemu dengan sperma apabila hubungan kelamin diadakan pada
saat itu. Apabila tidak ada sperma laki-laki yang menyerang, ovum itu kemudian
bergerak ke dalam kandungan, pada akhirnya musnah di sana. Namun jikalau kedua
sel itu bersatu, maka "hidup baru pun mulailah", sel baru ini akan bergerak secara
perlahan untuk meneruskan perjalanannya dalam saluran indung telur, hingga
sampai di kandungan. Di sanalah ia bermukim selama sembilan bulan. Kemudian sel
itu berkembang menjadi bayi yang sempurna. Subhanallah .. ternyata kita bukan
apa-apa, dan kita hanya menyaksikan sebuah peristiwa berlangsung. Kita hanya
sebagai saksi atas 'pekerjaan' Allah yang logis dan mudah dicerna oleh siapa saja
yang mau berpikir. Dengan cara demikian Allah berkomunikasi memberikan
ajarannya melalui perantara "kalam" sehingga manusia menjadi tahu dan berilmu.
Dari setiap system yang berlaku dalam penciptaan tersebut Allah sekaligus
mengilhamkan sebuah "pengertian" atau kefahaman bagi si pembaca.
Mari kita pertegas lagi dengan surat Al Mu'minuun ayat 12-14 :

"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal)
dari tanah, kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam
tempat yang kokoh (rahim) Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah,
lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging dan segumpal daging itu
Kami jadikan tulang-belulang. Lalu tulang-belulang itu Kami bugkus dengan daging.
Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha suci Allah,
Pencipta yang paling baik" (QS 23:12-14)
Banyak orang mengajarkan ilmu kepada muridnya namun ia tidak mampu
memberikan kefahaman, ... banyak guru mengajarkan ilmu agama namun ia tidak
bisa memberikan secuil iman, dan banyak guru mengajarkan shalat dan rukunnya
namun ia tidak bisa memberikan kekhusyu'an. Dan banyak majelis pembersihan jiwa
namun ia tidak bisa membersihkan jiwanya (QS 24:21)
Ada peristiwa menarik yang perlu kita simak dari sekitar lingkungan kita seharisehari
...Saya mengajak pembaca untuk memperhatikan perilaku binatang dan
tumbuh-tumbuhan yang terkadang terlupakan bagi kita untuk mengambil pelajaran.
Ada yang ingin saya ungkapkan sebuah rahasia Allah, saat kita bertutur mengenai
perilaku binatang dan tumbuh-tumbuhan, bagaimana lebah menciptakan sarangnya
dengan arsitektur yang indah, para semut yang bekerja dengan tekun dan kompak
serta mengelompokkan dalam pekerjaan dengan menajemen yang sangat rapih. Dan
kita perhatikan seperti apakah sarang semut itu? Mereka membuat sarang terdiri
dari ruangan-ruangan yang berfungsi sebagai gudang tempat menyimpan makanan,
ruang untuk menyimpan larva, ruang makan ratu semut yang dilayani semut pekerja
dan tempat bertelur, kemudian telur semut tersebut dibawa oleh pekerja ke ruangan
khusus penyimpanan telur. Ruang semut jantan dan ruang semut betina terpisah.
kepompong yang sudah menjadi semut sempurna diletakkan pada ruangan
tersendiri dan para semut ada yang bertugas merobek kepompong untuk
mengeluarkan semut-semut yang masih bayi. Kita lihat di ruangan yang lain, semutsemut
ini memelihara kepompong kupu-kupu hairstreak. Mereka merawatnya dan
memberinya makanan layaknya bayinya sendiri. Mereka mengharapkan kelak anak
angkatnya ini mampu membalas jasa baiknya dengan memberi madu yang manis.
Mari kita tinggalkan rumah semut yang damai dan sejahtera, menuju istana rayap
yang penuh keajaiban. Sebuah gundukan tanah sarang rayap, yang kelihatannya
sepele ternyata ada sebuah kecerdasan yang mengalir pada diri para penghuninya...
bagaimana tidak, saat suhu udara di luar bergerak antara 35 derajat (pada malam
hari) hingga 104 derajat fahrenheit (pada siang hari), suhu di dalam sarang tetap
stabil. Kira-kira hanya 87 derajat fahrenheit kehebatan ini yang membuat arsitek di
Zimbabwe berguru pada rayap. Mereka ingin membuat rumah yang dingin seperti
rumah rayap. Ternyata ada sebuah lobang angin di bawah gundukan ... udara yang
hangat di siang hari mengalir keseluruh ruang. Sementara ruang-ruang itu telah
basah oleh lumpur yang dibawa rayap dari genangan dibawah tanah, makanya di
dalam sarang udara tetap lembab. Jadi tak heran jika jamur yang dibutuhkan rayap
sebagai makanan tumbuh subur di sini.
Belajar dari melihat dan memperhatikan apa yang dilakukan rayap, para arsitek
Pearce Partnership di Harare, Zimbabwe, menerapkan ide yang sama untuk
membangun sebuah kompleks perkantoran dan real estate. Maka berdirilah
bangunan Eastgate. Banguan tersebut sebenarnya terdiri dari dua bangunan.
Dibagian atapnya dihubungkan oleh semacam jembatan miring berbahan kaca,
sehingga angin menjadi bebas masuk pada malam hari. Kipas-kipas yang dipasang
disetiap ruangan mengalirkan udara dingin dari luar atrium. Udara masuk rongga di
lantai dasar. Persis seperti lubang rayap, dibagian dasar ini, udara segar mengalir
kesetiap ruang perkantoran melalui ventilasi lantai. Udara panas disiang hari akan
keluar gedung melalui cerobong diatas atap.
Kita perhatikan makhluk yang tidak memliki akal dan tiada mampu berfikir, makhluk
yang tiada daya namun siapa yang membekali ia kemampuan bersiasat,
berpengertian ? Memiliki tingkat kecerdasan yang luar biasa. Bagaimana mereka
mendapatkan kecerdasan dan berpengertian tersebut. Apakah mereka bisa dengan
sendirinya.
Allah-lah yang bertutur kata kepada semua makhluknya. Allah yang memberikan
wahyu kepada para Nabi, kepada ibu Musa, kepada lebah, kepada semut, kepada
langit dan bumi, kepada manusia, kepada pencuri sekalipun !!!
Semua makhluk telah mengikuti kehendak Ilahi dan perintah Ilahi dengan terpaksa
ataupun suka cita. Allah membuat hukum yang harus diikuti semua makhluk, hal ini
bisa kita rasakan dalam renungan yang hening … kita perhatikan keluar masuknya
nafas … kedipan mata dan degup jantung yang bergerak mengalirkan darah sambil
mengirimkan nutrisi menggantikan sel-sel yang hilang … indahnya penglihatan
memandang alam ... suara debur ombak menggema menembus telinga ….dan lidah
merasakan lezatnya buah-buahan dan biji-bijian. Oh .. alangkah indahnya semuanya
ini, manusia hanya bisa merasakan dan menyaksikan. Tidak sedikitpun kita ikut andil
dalam membuat rasa semua ini !!!
Rasakan dengan penuh hikmah bahwa kita sebenarnya hanya diam terpaku dalam
kesibukan Allah (Af'alullah), Allah yang menggerakkan bumi dan bintang-bintang …
Allah yang mengatur senyawa-senyawa bereaksi ….dan butiran-butiran atom
bergerak pada porosnya.
"dan Allah telah mengeluarkan kamu dari perut ibumu tidak mengetahui apa-apa,
kemudian Allah memberi kepada kamu pendengaran dan penglihatan serta pikiran
(perasaan), supaya kamu bersyukur" (QS 16:78)
Firman Allah :
"Kemudian Dia mengarah kepada langit yang masih berupa kabut lalu Dia berkata
kepadanya dan pada bumi; silahkan kalian mengikuti perintah-Ku dengan suka hati
atau terpaksa .jawab mereka : kami mengikuti dengan suka hati" (QS 41:11)
Mari kita perhatikan Al Qur'an dalam surat Fushilat ayat 12 :
"Maka Allah menjadikannya tujuh langit dalam dua hari dan "mewahyukan" perintah-
Nya pada tiap-tiap langit itu, dan Kami hiasi langit dunia dan pelita-pelita dan Kami
memeliharanya, Demikianlah ketentuan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui"
(QS 41:12)
Allah mengajarkan manusia apa-apa yang belum diketahuinya. Allah-lah yang
menuntun manusia, memberikan inspirasi, ilham dan wahyu. Tubuhnya patuh
mengikuti perintah Tuhannya tidak terkecuali orang kafir. Sunnah-sunnah Allah
berlaku kepada alam semesta baik yang mikro maupun yang makro. Syaikh imam
An Nafiri berkata " Tuhanku bertutur kata kepadaku"… Demi keimanan bahwa
sumber segala hakikat dan sumber segala pengilhaman ialah Allah Swt semata …
Baiklah kita nukilkan apa yang tertera dalam kitab suci Al Qur'an setiap yang disebut
wahyu itu adalah wahyu tasyri' atau wahyu syariat, tetapi ada wahyu ilham. dimana
Allah memberikan perintah-perintah atau instruksi-instruksi kepada makhluknya,
Firman Allah Swt:
Dan Tuhanmu " mewahyukan" kepada lebah (QS 16:18)
Dan Kami " wahyukan " kepada ibu Musa (QS 28:7)
Dan Ia "mewahyukan" kepada tiap-tiap langit itu urusan masing-masing (QS 41:12)
Kata "wahyu" yang tertera dalam ayat-ayat diatas, secara tegas bahwa Allah tidak
menutup-nutupi kepada pembaca, bukan siapa-siapa yang membisikkan dan
menggerakkan tubuh manusia yang oleh pakar biasa disebut alam kecil atau
gambaran mini tentang alam semesta. Dialah Allah yang bersembunyi dibalik kasat
mata manusia yang buta hatinya. Ia yang menggerakkan bumi, langit,
bintang-bintang, matahari ... dan mengajarkan lebah berdemokrasi dalam memilih
pimpinan dan perundang-undangan pemilihan. Ia menuntun lebah-lebah ini untuk
membuat konstruksi bangunan rumahnya yang indah. Masing-masing dibekali wahyu
dari Tuhan untuk melaksanakan tugasnya dengan sempurna. Mereka seperti rasulrasul
sang utusan, mereka begitu mematuhi perintah-Nya
tanpa membantah, sehingga jalan mereka tidak berbenturan dengan fitrah Allah
Yang Maha Suci.
Berpegang pada hasil kontemplasi pada alam semesta yang berada di sekililling kita,
baik yang jauh seperti galaksi atau bimasakti, bintang, matahari, bulan, maupun
yang dekat seperti bumi, gunung, lautan, angin, hujan dan sungai, semua makhluk
yang dikatakan tak bernyawa, dan makhluk-makhluk hidup seperti tumbuhtumbuhan,
binatang, dan manusia, kita telah berhasil memberikan penafsiran dan
pengertian yang menunjukkan adanya kecocokan antara ayat-ayat Allah di dalam
kitab suci Al Qur'an dengan ayat-ayat Allah di alam semesta. Dengan
perkembangannya dan sempurnanya sains kita akan mempunyai informasi yang
lebih banyak tentang ayat-ayat Al Qur'an, yang sekarang belum kita fahami, dan
lebih mendalam lagi ayat-ayat Al Qur'an yang kini telah dapat kita fahami sedalam
apa yang dapat disajikan sains pada saat ini.
Keadaan ini dapat kita capai karena kita mengikuti perintah Allah untuk berintizhar
pada alam semesta, agar kita dapat melihat ayat-ayat Allah, tanda kebesaran Allah,
tanda-tanda kekuasaan-Nya serta wahyu-Nya. Ayat-ayat Allah ini boleh dibaca oleh
siapa saja dan mereka akan medapatkan hikmahnya dan manfaat dari hasil
membaca ayat-ayat tersebut. Maka jangan salahkan orang kafir
kalau mereka bersungguh-sungguh meneliti dan mendata apa yang mereka baca
dari kejadian alam lalu mendapatkan ganjaran atas manfaat membaca ayat kauniah.
Dan sebaliknya Allah akan membiarkan ummat Islam terkapar, jika memang ia tidak
mau menjalankan syariat secara kauniah yang merupakan ketetapan dan sunnahsunnah-
Nya.
Nyata pula bahwa melalui jalan intizhar pada isi bumi, baik yang hidup maupun yang
mati serta atom dan molekul, Allah mengungkapkan hukum-hukum alam-Nya, dan
mengizinkan kita untuk menganalisis kembali bagaimana bumi tercipta dan
berkembang, dan makhluk hidup diciptakan serta dievolusikan Allah dalam rangka
penyempurnaannya hingga tercipta manusia. Sekalipun ia tersusun dari zat-zat
kimiawi yang berkelakuan sesuai ketetapan sunnatullah, manusia bukan sekedar
onggokan bahan kimia atau struktur kimiawi yang mengikuti hukum-hukum alam
hingga merupakan mekanisme yang memperlihatkan gejala hidup, bermetabolisme,
tumbuh, berkembang biak dan sebagainya.
Dalam diri manusia terdapat suatu kesadaran, sesuatu yang tak dapat dikembalikan
pada proses kimiawi atau fisis yang kita ketahui. Kita lihat dalam surat Al Hijr ayat
28-29 :
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya
Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari
Lumpur hitam yang berstruktur, maka apabila Aku telah meniupkan kepadanya roh-
Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud." (QS 15:28-29).
Jadi manusia diberi roh oleh Allah, diberi kesadaran serta kemampuan abstraksi dan
berkomunikasi secara lisan maupun simbolik, kemampuan analisis dan sintesis,
berakal dan berpikiran. Kesemuanya itu merupakan intrumen yang disediakan dalam
rangka untuk menjalankan tugas kekhalifahan. Pada bab-bab sebelumnya sudah
saya singgung mengenai Allah mengilhamkan kepada jiwa manusia. Dia yang
mengajarkan jiwa manusia melalui kalam baik tentang jalan kebajikan maupun jalan
kejahatan. Dimana kejahatan dan kebajikan hampir tidak bisa dibedakan dalam
penggunaannya. Ilmu yang yang digunakan oleh koruptor dalam mencuri uang
perusahaan misalnya, ia menggunakan ilmu yang sama dengan ilmu yang digunakan
oleh orang yang beriman yaitu "ilmu akuntansi". Jadi jelas bahwa Allah telah
menurunkan ilmu kepada manusia melalui jiwanya, namun manusialah yang akan
menentukan ilmu itu akan diarahkan kemana ia mau. Apakah jalan kebajikan
ataupun jalan kejahatan. Maka beruntunglah bagi manusia yang membersihkan
jiwanya sebab ia akan diberikan kemudahan oleh Allah untuk melakukan kebaikankebaikan.
Dan sebaliknya sungguh merugi orang yang mengotori jiwanya sebab ia
akan mendapatkan jalan kemudahan untuk berbuat kejahatan.
Dari semua uraian di atas mengenai bagaimana Allah mengajarkan manusia melalui
kalam-Nya, mari kita merenungkan kembali dan melihat kebenaran dengan jujur,
jangan kita membuat apologi untuk menghindar dari kebenaran yang nyata atas
perbuatan Allah. Terkadang kita banyak terjebak oleh istilah yang membingungkan
dan menjauhkan kita dari kegiatan Allah yang langsung kita bisa
rasakan. Kebingungan kita bertambah tatkala ilmuwan-ilmuwan atheis mengatakan
bahwa semua kejadian alam ini bisa bergerak dengan sendirinya atau biasa disebut
"natural", insting atau gharizah Namun Al Qur'an secara tegas membantah pendapat
kaum atheis itu, bahwa Allah-lah yang mengatur semuanya ini, Allah-lah yang
berbicara dan memerintahkan langit, bumi, atom-atom, kepada binatang serta
tumbuh-tumbuhan, kemudian Allah berbicara kepada roh manusia melalui ilham dan
wahyu. Lantas mengapa kita takut mengatakan "saya berguru kepada Allah" dalam
segala hal, karena Dialah Yang Maha Mengetahui akan segala sesuatu yang nyata
maupun yang ghaib.
Banyak orang meragukan bagaimana kalau kita "tersesat" dan ternyata syetan yang
menjadi guru kita? Saya akan kutib perkataan Syaikh Ar Rifa'i, dalam kitab Jalan
Ruhani oleh Syaikh Sa'id Hawwa halaman 73 :
"Sebenarnya tujuan akhir para ulama dan para sufi adalah satu". Ini perlu kami
utarakan disini, sebab beberapa ulama yang kurang faham selalu menghujat setiap
orang dengan perkataan: "Orang yang tidak memiliki syaikh, maka syaikh-nya
adalah syetan. ungkapan ini dilontarkan oleh seorang sufi yang berpropaganda untuk
syaikh-nya yang alim atau dilontarkan oleh sufi yang keliru,
yang tidak tahu bagaimana seharusnya ia mendudukkan tasawuf pada tempat yang
sebenarnya. Sebenarnya orang yang tidak memiliki syaikh adalah orang bodoh yang
tidak pernah belajar, menolak dan lari dari pendidikan. Manusia macam inilah yang
bersyaikh pada syetan !!! Sedangkan yang berjalan atas dasar ilmu pengetahuan ,
itu berarti imam dan syaikhnya adalah ilmu dan syariat".
Syaikh Abdul Qadir Jaelani mengisahkan perjalanan keruhaniannya yang ditulis
dalam kitab "Rahasia Kekasih Allah", saat dimana ia bertawajjuh dalam tafakkur
dengan khusyu', saat ia meluruskan jiwanya melayang menuju yang maha ghaib,
saat ia melampiaskan rohnya yang penat terkungkung oleh sibuknya dunia, ia
tinggalkan seluruh ikatan syahwati yang sering mengajak kejalan kefasikan. Ketika
roh sang Syaikh mulai ekstase dalam puncak keheningan dan kecintaan yang
mendalam kepada Sang Maha Kuasa, baru selangkah rohnya meluncur lepas untuk
memasuki kefanaan, tiba-tiba muncul cahaya yang terang-benderang meliputi
ruangan alam ruhani Syaikh. Dan kepada sang Syaikh diwangsitkan sebuah amanah
yang membebaskan darinya dari ikatan "syari'at Allah" dengan memberikan alasan
bahwa sang Syaikh sudah mencapai kedekatan kepada Allah. Perjalanannya sudah
sampai (wushul) dan tidak perlu lagi shalat, haji, zakat dan dihalal semua yang
pernah Allah haramkan. Namun sang Syaikh ini rupanya telah memiliki ilmu ma'rifat
kepada Allah dengan landasan Al Qur'an dan Alhadist, dimana ia diselamatkan oleh
pengetahuan tentang Allah, bahwa Allah tidak sama dengan makhluq-Nya, tidak
berupa suara, tidak satupun yang bisa membandingkan-Nya. Dia Maha Ghaib dan
Maha Latif. Pengetahuan yang cukup, yang dimiliki sang Syaikh mengalahkan
wangsit yang keliru tadi, dengan tuntunan syari'at yang ditentukan oleh Allah
sendiri. Ia selamat dari jebakan syetan yang terkutuk. Allah-lah sebagai penuntun
menuju hadirat-Nya. Dialah sang Mursyid sejati, tidak satupun manusia yang mampu
menghantar roh manusia lain menuju ke hadirat Allah `azza wajalla.
KIta perhatikan para nabi seperti nabi Ibrahim, beliau mengetahui dengan jelas
siapa yang menggoda ketika beliau mendapatkan perintah untuk mengorbankan
putranya Ismail untuk disembelih. Namun nabi Ibrahim memiliki jiwa yang bersih
dan berada pada wilayah keruhanian yang tinggi. Sehingga beliau mengetahui siapa
sebenarnya yang menggodanya. Sebab kedudukan dimensi syetan masih berada
jauh di bawah kedudukan orang mukmin yang mukhlisin (berserah diri kepada
Allah). Hal ini juga pernah dialami oleh nabi Yusuf saat gejolak syahwatnya
menguasai jiwanya. namun saat itu pula nabi berserah diri dengan ikhlas kepada
Allah, sehingga Allah menurunkan burhan di hatinya, yang pada akhirnya nabi Yusuf
selamat dari perbuatan mesum dengan wanita cantik jelita yang menggodanya. Hal
ini pernah dikeluhkan oleh syetan kepada Allah bahwa dirinya akan selalu menggoda
setiap anak cucu Adam sampai hari kiamat. Namun ia tidak mampu menjerumuskan
kedalam kesesatan bagi orang-orang yang berserah diri kepada Allah.
Banyak informasi mengenai Allah yang keliru, sehingga belajar keTuhanan terkesan
sulit dan sangat membingungkan. Kita lihat banyak buku-buku mengenai theologi, ia
berbicara eksistensi "Tuhan" namun kita tidak pernah diajak melihat secara
sederhana. Atau kita banyak berbicara mengenai Allah, tentang kekuasaan-Nya,
kehebatan-Nya, dan keMahaPengasihan-Nya, akan tetapi kita merasakan sedang
membicarakan sosok yang jauh disana. Padahal kita sedang berada didekat-Nya,
dan sangat dekat … Kesederhanaan firman-firman Allah dalam mengungkapkan
keberadaan diri-Nya sering disalahtafsirkan. Sehingga bertambah jauhlah dia dari
pengertian yang seharusnya. Kita banyak terhijab oleh pengetahuan yang menutup
eksistensi Tuhan dalam hubungannya mengenai pengajaran dan bimbingan melalui
"ilham". Kita sudah terlanjur terbelenggu oleh pengertian bahwa Allah tidak berkatakata
lagi kecuali hanya kepada nabi-nabi, para rasul dan para wali. Namun disisi lain
mereka mengharapkan Allah memberikan jawaban-jawaban atas doa-doanya,
bimbingannya, ismatnya dan taufiqnya. Dan mereka menolaknya kalau kita katakan
bahwa kita akan belajar atau berguru kepada Allah masalah hidup, masalah khusyu'
masalah penyelesaian rumah tangga, atau menanyakan informasi hal-hal yang akan
kita lakukan nanti. Kita telah melupakan bahwa ayat-ayat Al Qur'an banyak
menyiratkan makna yang belum bisa kita lakukan. Ayat-ayat perintah atau amar
seperti shalat, zakat, haji, sedekah, berjilbab, dan lain-lain, kita bisa lakukan dengan
segera. Namun banyak ayat-ayat berupa penjelasan atau menceritakan keadaan
(hal) orang-orang yang beriman. Dimana kita tidak akan mampu melakukannya
kalau bukan karena hidayah atau tuntunan, yaitu berupa kekhusyu'an, menangis
dalam shalat atau bergetar ketika dibacakan ayat-ayat Allah, merasa tenang dan
tidak ada rasa khawatir. Sikap ruhiyah inilah yang kita tidak miliki !!!
Dan tidak mungkin kita bisa lakukan semudah mengangkat takbir atau membaca
ayat Al Qur'an. Hidayah, bukan hak kita untuk memberikan kepada murid atau anak
kita. Hidayah adalah hak Allah kepada hamba-hambaNya yang terpilih. Hidayah
adalah pengalaman pribadi dan merupakan tuntunan dan tarikan ruhani. Kepada
jiwa itulah cahaya Allah memberikan karunia kekusyu'an dan keimanan yang dalam.
Pengalaman-pengalaman itu ditulis dalam Al Qur'an berupa keadaan yang mesti
didapat secara rasa, bukan ditafsirkan. Pengalaman-pengalaman tersebut akan
menjadi pemicu bagi yang merasakan sebagai penguat keimanan kepada Allah.
Rasulullah sendiri pernah mengalami kesulitan dalam memberikan wejangan kepada
pamannya saat menjelang kematiannya. Dan pamannya tetap dalam keadaan kafir,
sekaligus teguran kepada Rasulullah bahwa beliau ditugaskan hanya sebagai
pembawa berita baik dan ancaman dari Tuhannya, bukan memberikan hidayah atau
memberikan iman kepada manusia. Dengan demikian seharusnyalah kita
mengharapkan dan memfokuskan diri dalam melatih jiwa kita untuk selalu hadir
berguru kepada Allah, memohon hidayah dan tuntunan. Dengan hanya berserah diri
kepada Allah-lah kita akan mendapatkan hidayah dan bimbingan, seperti para nabi,
para wali, lebah, semut, bumi dan langit. Semuanya mendapatkan bimbingan dan
petunjuk karena mereka adalah orang-orang dan makhluk yang berserah diri secara
total kepada Allah Swt. Mari kita hilangkan rasa takut tersesat. Rasa takut yang
tidak beralasan inilah yang justru menjebak kita untuk berhenti mendekati Allah.
Syetan telah berhasil memanfaatkan alasan "tersesat" sehingga kita lupa bahwa kita
telah dan sedang tersesat, tidak berdzikir kepada Allah.
Untuk lebih jelasnya kita harus mengetahui bagaimana Allah menurunkan wahyu dan
ilham kepada manusia. Dan apakah sebenarnya ilham atau wahyu itu?. Penjelasan
ini penting untuk bekal bagi para pejalan keruhanian. Karena belakangan ini banyak
orang menawarkan bentuk kerohanian yang bukan datang dari Islam. Kesan ruhiah
Islam telah hilang, karena informasi kerohanian Islam tidak mudah didapat
disembarang tempat, apalagi didepan khalayak ramai. Kondisi inilah yang
menyebabkan khasanah ilmu kerohanian didominasi oleh kerohanian yang tidak
berasal dari ketauhidan murni. Untuk itu wajar sekali kalau banyak kalangan yang
takut belajar kerohanian, sebab yang mereka dengar dari setiap pelaku kerohanian
cenderung berbicara soal 'klenik', perdukunan, ramalan, serta fenomena keadaan
alam-alam ghaib yang menyeramkan.
Perbuatan Manusia
Tinjauan filsafat yang lebih menonjol terhadap manusia adalah menyangkut
kebebasan. Perbuatan manusia dilihat dari segi efektivitasnya. Pandangan terhadap
hal ini mempunyai akar pada konsepsi tentang hakikat manusia dan daya-daya yang
dimilikinya. Apabila manusia mempunyai hakikat dengan daya-daya yang efektif
pada dirinya, ia dengan sendirinya adalah pelaku perbuatan-perbuatannya.
Sebaliknya, apabila manusia dipandang tidak mempunyai daya-daya yang efektif
pada dirinya, perbuatan-perbuatannya, pada dasarnya, tidak berasal dari dirinya
sendiri. Perbuatan-perbuatan itu merupakan hasil determinasi kekuatan-kekuatan
lain diluar dirinya. Manusia dalam hal ini tempat berlakunya kekuatan-kekuatan itu.
Menurut Al Ghazaly didalam Ma'arij al quds, perbuatan adalah bagian dari gerak.
Apabila gerak dikaitkan dengan manusia, maka gerak tersebut dapat dibedakan atas
gerak yang tidak disadari (at thabi'i) dan gerak yang disadari (al iradiyyat). Gerak
yang tidak disadari, kita sudah maklumi bahwa tubuh manusia dikatakan miniatur
alam semesta, dimana unsur-unsur alam bergerak dan berkembang mengikuti
perintah dan peraturan- peraturan Allah semata.
Dalam tulisan ini, yang hendak dikemukakan adalah persoalan perbuatan yang
disadari, karena perbuatan inilah yang terjadi secara jelas melalui proses tertentu di
dalam jiwa dan berhubungan dengan pengungkapan diri. Perbuatan yang disadari,
disebut juga dengan perbuatan bebas (ikhtiyaari), perbuatan semacam ini menurut
Al Ghazaly terjadi setelah melalui tiga tahap peristiwa dalam diri manusia, yaitu
pengetahuan, kemauan (al iradat) dan kemampuan (al qudrat). Yang lebih dekat
diantara ketiga tahap itu dengan wujud perbuatan adalah al qudrat. Al qudrat adalah
daya penggerak dari jiwa sensitive yaitu makna yang tersimpan dalam otot-otot. Ia
adalah momen terakhir yang secara langsung berhubungann dengan wujud
perbuatan. Fungsi al qudrat pada dasarnya ialah menggerakkan tubuh. Bentuk
gerakan tubuh ditentukan oleh kemauan atau iradat. Berdasarkan salah satu
kecenderungan yang inheren didalamnya : positif atau negatif. Positif sebagai reaksi
terhadap yang menguntungkan dan negatif sebagai reaksi terhadap hal yang
merugikan. Dengan pengertian ini, semestinya pada al iradat terdapat kegiatan
memilih. Al iradat (kemauan) mempunyai intensitas kepada proses sesudahnya al
qudrat. Artinya ia bersifat aktif terhadap al qudrat, sehingga yang disebut terakhir ini
menjadi aktual, tidak sekedar potensi. Al iradat tidak mempunyai intesitas kepada
proses sebelumnya, yaitu pengetahuan, sebagaimana al qudrat tidak mempunyai
intensitas kepada iradat. Al qudrat hanya mempunyai intensitas kepada wujud
perbuatan. Berbeda dengan al qudrat, al iradat mempunyai "kekuasaan" yang lebih
besar karena ia tidak menerima perintah dari daya sebelumnya, ia mempunyai
inisiatif memilih, al iradat menentukan pilihannya berdasarkan pengetahuan.
Daya "mengetahui" mempunyai kekuasaan yang lebih besar daripada al iradat ,
tetapi ia mempunyai hubungan yang jauh dan terlibat secara langsung dengan
perbuatan adalah al iradat dan al qudrat. Sepintas lalu proses terwujudnya
perbuatan ini memperlihatkan efektivitas manusia, melalui iradat manusia
mempunyai kebebasan dan melalui al qudrat manusia mempunyai kemampuan pada
dirinya untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Disamping itu, Al Ghazaly
menyatakan juga didalam buku-buku filsafatnya, bahwa perbuatan-perbuatan
manusia terwujud dengan sebab "perbuatan Allah"
Namun demikian Al Ghazaly mendapat sorotan tajam dan dituduh sebagai biang
kerok kejumudan pemikiran ummat. Hal ini disebabkan banyak kalangan yang
kurang teliti melihat alur pemikiran Al Ghazali. Yang dimaksud adalah andil Allah
dalam setiap perilaku manusia maupun makhluk dalam memberikan pengertian baik
maupun buruk. Akan tetapi Allah sudah membekali dan memberikan kebebasan
untuk memilih dua hal tersebut. Yang akan saya utarakan adalah persoalan awal
sebelum kehendak dan kemampuan berbuat itu muncul. Misalnya seorang penulis,
maupun pelukis, saat dimana ia melakukan perbuatan tersebut. Ia sebenarnya
hanya diam menunggu inspirasi datang kemudian muncul kehendak lalu
memerintahkan kemampuan atau iradat untuk melakukan gerakan.
Pengetahuan ini sering disebut dengan pengertian awwali atau ide besar yang belum
berupa rangkaian huruf-huruf, bukan rumus-rumus suara, Dia ada meliputi segenap
jiwa dan alam. Ialah perintah-perintah atau amar-amar Tuhan yang mengarahkan
dan menggerakkan segala-sesuatu. Ialah ruh yang suci, yang tidak bisa
digambarkan oleh fikiran, namun Ia hadir dengan perintahnya, tidak berupa suara
dan suasana. Dia berkata-kata kepada para penulis novel, dia melukis bersama
seniman, dia menuntun lebah merangkai sarangnya, dan semut-semut pun mengerti
apa yang mesti dilakukan dalam hidupnya.
Pengertian-pengertian itu datang mengalir secara murni tanpa ada campur tangan
makhluk apapun termasuk malaikat. Kita bisa rasakan sendiri hal ini bahwa
datangnya perintah terhadap tubuh maupun alam secara alami berlaku pasrah
maupun terpaksa. Kita perhatikan orang yang sedang tidur. Ia berbaring tanpa
dikendalikan lagi oleh kemauan dan kekuasaan diri. Instrumen tubuh
bekerja sesuai dengan fungsinya masing-masing.bandingkan dengan perilaku alam
yang lain seperti binatang, tumbuh-tumbuhan, matahari, bumi dan planet-planet
lainnya. Semua bergerak teratur menurut perintah Allah. (lihat Surat Al Fushilat ayat
11-12).
Yang membedakan antara manusia dan makhluk lain adalah adanya iradat dalam diri
manusia sehingga ia bebas memilih untuk berbuat atau tidak. Akan tetapi manusia
tidak bisa menentukan gerakan Ilahi yang mengalir dalam tubuhnya, yaitu gerak
hakiki .
Gerak hakiki adalah gerak dimana Tuhan telah menentukan arah dan kadar
fungsinya. Ia tidak akan menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan Tuhan. Ia
patuh sebagaimana alam semesta patuh. Ia bersifat pasrah yang dinamis, karena ia
mengikuti gerak dan keinginan Ilahi
Para seniman Taichi berprinsip mengikuti irama gerak alam. Tubuhnya dipatok
kedalam kekuasaan besar yang meliputinya, ia membiarkan tubuhnya berdiri diatas
kelembutan dan kekerasan, sehingga keseimbangan dan keharmonisan segi tiga
realitas menjadi puncak prinsip, mikrokosmos, makrokosmos dan metakosmos.
Sehingga ia akan mengenal wujud Allah melalui tahapan wilayah-wilayah sampai
kepada kesimpulan bahwa semua makhluk adalah fana kecuali wujud Allah Yang
Maha Suci.
Gerak hakiki merupakan sunnatullah. Ia bergerak sesuai dengan kehendak Ilahi. Kita
tidak bisa menghentikan kehendak hakiki pada tubuh kita untuk mati. Kita tidak
pernah merencanakan lahir menjadi seorang laki-laki ataupun perempuan. Kadangkadang
kehendak itu bertentangan dengan kehendak kita. Kita menginginkan hidup
seribu tahun lagi, namun ada gerak hakiki yang menghentikan dengan paksa untuk
mati diusia belasan tahun.
Dengan mengetahui adanya dua kehendak yang berlangsung dalam diri kita,
menandakan adanya bentuk hakikat dan bukan hakikat. Sehingga kehendak yang
bukan hakikat semestinya mengikuti gerak hakikat yang menjadi pusat ketentuan
dan ide didalam setiap gerak manusia. Maka sesungguhnya fitrah Allah dan fitrah
manusia adalah sama (lihat surat Ar Rum ayat 30). Untuk mengenal hakikat Allah
dan mengikuti kehendak-Nya, kita harus berupaya menjalani pendekatan melalui
jalan ruhani. Karena Allah sendiri hanya memberikan tanda-tanda atau ramburambu
dalam memberikan petunjuk menuju pengenalan akan "wujud" (eksistensi
Allah). Pengenalan ini harus kita mulai dengan membuka harus kita mulai dengan
membuka wawasan ilmu tauhid kepada Allah, yaitu ilmu yang bersangkut paut
masalah hakikat Allah, sifat-sifat Allah, dzat Allah, Af'al Allah. Sebab kalau kita tidak
mengenal ilmu ini, maka tentunya kita tidak akan tahu sampai dimana perjalanan
kita menuju jalan hakikat. Jalan ruhani akan terhalang jika kita tidak mengetahui
akan keadaan Allah secara ilmu. Kita akan terjebak oleh keadaan alam-alam yang
menakjubkan didalam fenomena ghaib. Bisa jadi khayalan dan halusinasi seseorang
yang bergembira berlebihan akan hidup berkerohanian menyebabkan memori
didalam otaknya muncul tatkala ia berkonsentrasi apa yang diinginkan. Keadaan ini
sering muncul atau seakan-akan ada orang yang membisikkan untuk melakukan
sesuatu. Dalam berguru kepada Allah, hendaknya kita sudah mempersiapkan bekal
ilmu yang disebutkan di atas, sebab kita akan memasuki dunia keTuhanan secara
total.
Myskat Cahaya Ilahi
Kata cahaya adalah metafora yang diungkapkan Al Qur'an, dalam menjelaskan
keadaan jiwa atau hati yang telah mendapatkan wahyu atau ilham. Dimana wahyu
atau kata-kata Tuhan diungkapkan kedalam bahasa manusia, dengan meminjam
kata 'cahaya', sebab wahyu sendiri tidak bisa diungkapkan dengan bahasa manusia.
Wahyu adalah bahasa Allah, yang berbeda dengan bahasa manusia. Namun wahyu
atau ilham bisa dipahami oleh orang yang menerimanya, bahkan hewan dan
alampun mampu memahami bahasa Allah.
Didalam Mu'jam Alfadzil Qur'anil Karim, yang diterbitkan oleh Majma'ul Lughah Al
Arabiyah, kata 'ilham' ditafsirkan dengan :"Disusupkannya kedalam hati perasaan
yang sensitif yang dapat dipergunakan untuk membedakan antara kesesatan dan
petunjuk", dan mungkin hal ini di jaman kita sekarang ini dikenal dengan istilah
dhomir (kata hati). Didalam kamus Al Muhith disebutkan : "Al hamahu khaira" (Allah
mengilhamkan kebaikan) yakni : Allah mengajarkan kepadanya.
Dengan alasan inilah saya memberikan judul "Berguru Kepada Allah" pada bab ini.
Dan dengan demikian kita sudah menjurus kepada hal yang lebih penting lagi
didalam perjalanan kita kali ini. Disamping kita sudah berbekal ilmu kema'rifatan,
yaitu mengenal dzat, sifat dan af'al Allah, kita hendaknya melakukan komunikasi
kepada Allah serta melakukan pemasrahan diri secara total. Kepasrahan adalah
menggantungkan sikap jiwa untuk patuh kepada Allah dengan segenap syari'at yang
telah ditentukan, agar kita mendapatkan cahaya keimanan yang lebih dalam.
Firman Allah Swt didalam surat An Nuur ayat 35-38:
"Allah adalah cahaya bagi langit dan bumi. Perumpamaan cahaya adalah seperti
lubang yang didalamnya ada pelita. Pelita itu di dalam kaca. Dan kaca itu laksana
bintang yang berkilauan yang dinyalakan dengan minyak pohon yang diberkati, yaitu
minyak zaitun yang bukan dari timur dan tidak (juga) dari barat. Minyaknya hampir
menerangi sekalipun tidak disentuh api. Cahaya di
atas cahaya. Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, (yaitu) di rumah-rumah, Allah
memerintahkan untuk memuliakan dan menyebut nama-Nya, bertasbih didalam
rumah itu pada waktu pagi dan petang, (yaitu) laki-laki yang tidak dilalaikan
perniagaan dan jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat dan menunaikan
zakat, mereka takut akan hari yang berguncang padanya hati dan penglihatan,
supaya Allah membalas mereka dengan yang lebih baik dari apa yang mereka
kerjakan dan menambah (lagi) karunia-Nya. Dan Allah memberi rezeki kepada
siapa-siapa yang Dia kehendaki dengan tiada terbatas" (QS 24:35-38)
Allah memberikan perumpamaan cahaya-Nya seperti lubang yang tak tembus, yang
didalamnya ada 'pelita' besar. Cahaya itu bersemayam di dalam hati orang-orang
yang terpilih dan dikehendaki-Nya. Dengan cahaya itu Allah membimbing dan
menuntun hati agar mampu memahami ayat-ayat Allah serta nasehat-nasehat Allah.
Allah-lah yang akan 'menghantar' jiwa kita melayang menemui-Nya dan yang akan
menunjukkan 'jalan ruhani' kita untuk melihat-Nya secara 'nyata'. Dengan 'cahaya-
Nya', kita bisa membedakan petunjuk dari syetan atau dari Allah swt.
Firman Allah:
"Wahai orang-orang beriman jika kamu bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan
menjadikan bagimu furqan (pembeda) ". (QS 8:29)
Yang dimaksud dengan 'furqan' adalah cahaya yang dengannya, kita semua bisa
membedakan antara yang haq dan yang bathil.
Dan firman Allah :
"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan
Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama
orang-orang yang berbuat kebaikan" (QS 29:69)
Ayat ini menunjukkan bahwa bersungguh-sungguh atau bermujahadah dijalan Allah,
memiliki pengaruh didalam memberi 'hidayah' atau 'cahaya' kepada manusia menuju
jalan-jalan Allah, yaitu jalan kebenaran.
Firman Allah :
"Barang siapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagimu jalan
keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangka ..." (QS 65:2-
3).
Dengan demikian maka jelaslah pada ayat-ayat di atas, memberikan kepada kita
'syarat' untuk mendapatkan 'cahaya' atau 'hidayah', hendaklah melakukan amalanamalan
yang diwajibkan dan disunnahkan, yaitu melakukan dzikrullah', baik berdiri,
duduk, maupun berbaring. Sebab didalam setiap peribadatan itu merupakan 'cara'
untuk mengingat 'Allah'.
Dan menyebabkan 'Allah' menyambut ingatan kita, dengan sambutan kasih sayang
serta memberinya 'cahaya' penerang bagi hatinya yang merelakan dan membuka
untuk menerima Allah sebagai junjungannya, dengan ditandai rasa tenang yang luar
biasa.
Untuk lebih jelasnya, saya akan lanjutkan perjalanan rohani kita, pada bab
"Membuka Hijab". Pada bab itu akan saya jelaskan secara konkrit, masalah-masalah
rohani atau fenomena kerohanian yang menjebak perjalanan kita seperti istijrad,
kemampuan kasyaf, dan penyembuhan yang digandrungi oleh para pemburu
'kesaktian'. Dimensi-dimensi fisik maupun psikis akan anda temui pada bab tersebut.

Jin

Mari kekeselen ngerombeng gak oleh-oleh, Kayat katene ngaso ngisore
witasem, mripate nguantuk, sikile kemeng, wetenge lue.
Sik tas katene keturon, dhadhak sikile ngincak botol. Bareng botole
dijupuk dhadhak metu beluke, Kayat mencolot kuaget.
”Hua ha ha ha, jenengku jin botol, telu panjalukmu bakal tak turuti,”
jare jine.
”Gak percoyo aku, paling kon kate mbujuki aku.
Biyen aku iki guanteng lan sugih, lha saiki aku malih ireng mlarat koyok
ngene iki mergo dibujuki ambek jin” jare Kayat.
”Lho biyen iku be’e awakmu pethuk ambek jin kaspo, lha aku iki lak jin
apikan tah, dhadhi wis gak usah khawatir.
Opo maneh awakmu wis kadung koyok ngono, gak bakal isok luwih soro
maneh, wis tah gak rugi pokoke.
Lek gak percoyo, cobaken dhisik ae njaluk opo” jare jine maneh.
”Yo wis, awas lek awakmu mbujuki. Tak gibheng kon !!!. Sing pertama,
aku kepingin ndhuwe dhuwik sak karung,” jare Kayat
”Meremo dhiluk..”jare jine. Ting... Pas melek moro-moro ndhik ngarepe
Kayat wis onok dhuwik sak karung, seket ewuan kabeh.
”Sik gak percoyo tah awakmu, saiki njaluk opo maneh .. ?” jare jine.

”Saiki .... aku njaluk omah mewah sak montore, pokoke lengkap sembarange.”
jarene Kayat.
”Meremo dhiluk..” jare jine.
Ting... Pas melek moro-moro Kayat wis nang njero omah mewah. Kayat
sueneng gak karuan.
”Lha saiki kari sithok panjalukmu sing isok tak turuti, pikiren sing temenan
cik gak getun” jare jine.
Ambek merem-merem mbayangno, Kayat njaluk, ”Aku kepingin kulitku
malih putih wudho dirubung wong wedhok akeh”.
Pas katene melek, samar-samar Kayat krungu suorone wong wedhok
rame ambek keroso awake dicekel-cekel. Tapi kok mambu iwak pindang,
pikire Kayat mulai curiga.
Bareng melek, Kayat kuaget lha kok wis nang tengah pasar, tibake Kayat
wis dhadhi tahu. . .

Kamis, 19 Februari 2009

Hati

Banyak ahli muslim terutama yang memperhatikan masalah akhlak kepada Allah,
mengemukakan bahwa hati manusia merupakan kunci pokok pembahasan menuju
pengetahuan tentang Tuhan. Hati, sebagai pintu dan sarana Tuhan memperkenalkan
kesempurnaan diri-Nya. "Tidak dapat memuat dzat-Ku bumi dan langit-Ku, kecuali
"Hati" hamba-Ku yang mukmin, lunak dan tenang (HR Abu Dawud ). Hanya melalui
"hati manusialah" keseimbangan sejati antara Tuhan dan kosmos bisa dicapai.
Al Qur'an menggunakan istilah qalb (hati) 132 kali, makna dasar kata itu ialah
membalik, kembali, pergi maju-mundur, berubah, naik-turun. Diambil dari latar
belakangnya hati mempunyai sifat yang selalu berubah, sebab hati adalah lokus dari
kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kesalahan.
Hati adalah tempat dimana Tuhan mengungkapkan diri-Nya sendiri kepada manusia.
Kehadiran-Nya terasa di dalam hati, dan wahyu maupun ilham diturunkan kedalam
hati para Nabi maupun wali-Nya.
"Ketahuilah bahwa Tuhan membuat batasan antara manusia dan hatinya, dan bahwa
kepada-Nya lah kamu sekalian akan dikumpulkan" (QS 8:24)
"(Jibril) menurunkan wahyu ke dalam hati nuranimu dengan izin Tuhan,
membenarkan wahyu sebelumnya, menjadi petunjuk dan kabar gembira bagi orangorang
yang beriman" (QS 2:97)
Hati adalah pusat pandangan , pemahaman , dan ingatan ( dzikir )
"Apakah mereka tidak pernah bepergian di muka bumi ini supaya hatinya tersentak
memikirkan kemusnahan itu, atau mengiang di telinganya untuk didengarkan ?
sebenarnya yang buta bukan mata , melainkan " hati" yang ada di dalam dada." (QS
22:46)
"memang hati mereka telah kami tutup hingga mereka tidak dapat memahaminya,
begitu pula liang telinganya telah tersumbat" (QS 18:57 )
"Apakah mereka tidak merenungkan isi Al Qur'an? atau adakah hati mereka yang
terkunci?" (QS 47:24)
"Janganlah kamu turutkan orang yang hatinya telah Kami alpakan dari mengingat
Kami (dzikir), orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya saja, dan keadaan orang
itu sudah keterlaluan" (QS 18:28)
"Sesungguhnya telah Kami sediakan untuk penghuni neraka dari golongan jin dan
manusia; mereka mempunyai hati, tetapi tidak menggunakannya untuk memahami
ayat-ayat Allah, mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakan untuk melihat,
mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar. Mereka itu
seperti binatang ternak , bahkan lebih sesat lagi. Mereka adalah orang-orang yang
alpa (tidak berdzikir) " (QS 7:17 )

Iman tumbuh dan bersemayam di dalam hati, begitu juga kekafiran, kemungkaran
serta penyelewengan dari jalan yang lurus. Oleh sebab itu, Allah tetap menegaskan
bahwa perilaku seseorang tidak bisa hanya sekedar syarat sah rukun syariat saja,
akan tetapi harus sampai kepada
pusat iman yaitu "hati".
Mungkin kita hampir lupa bahwa peribadatan selalu menuntut pemurnian hati
(keikhlasan), sehingga akan menghasilkan sesuatu yang haq serta dampak iman
secara langsung.
Iman yang pernah diikrarkan oleh kaum Arab Badwi dihadapan Rasulullah bukan
kategori iman yang sebenarnya, sehingga seketika itu Allah menurunkan wahyu
untuk memperingatkan kepada mereka (Arab Badwi) :
"Orang-orang Badwi itu berkata : "kami telah beriman". Katakanlah (kepada
mereka) "Kamu belum beriman", tetapi katakanlah "kami telah tunduk", karena
iman itu belum masuk kedalam hatimu" (QS 49:14) .
Iman yang benar mempunyai ciri tersendiri dan diakui oleh Al Qur'an. Ia tertegun
dan terharu tatkala nama Allah disebut ... dan bahkan ia terdorong ingin meluapkan
kegembiraan dan kerinduannya dengan menjerit seraya bersujud dan menangis.
Bergetar hatinya dan bertambahlah imannya. Ia begitu kokoh dan mantap dalam
setiap langkahnya karena keIhsanan bersama dengan Allah yang selalu menjaga. Ia
akan selalu berbisik ke dalam lubuk hatinya tatkala menghadapi persoalan dan
kesulitan di dunia, karena disitulah Allah meletakkan ilham sebagai pegangan untuk
menentukan sikap. Sehingga kaum beriman akan selalu terjaga dalam hidayah dan
bimbingan Allah Swt.
Firman Allah Swt :
"Suatu musibah tidak akan menimpa seseorang kecuali atas izin Allah. Dan barang
siapa yang beriman kepada Allah, tentu Dia akan menunjuki "hatinya". Dan Tuhan
Maha Mengetahui segala-galanya" (QS 64:11)
"Keimanan telah ditetapkan Allah ke dalam "hatinya" serta dikokohkan pula Ruh dari
diri-Nya" (QS 58:22)
"Dan Kami tunjang pula mereka dengan petunjuk, dan Kami teguhkan hati mereka"
(QS 18:13-14)
"Dialah yang telah menurunkan ketentraman di dalam hati orang-orang yang
beriman supaya bertambah keimanannya disamping keimanan yang telah ada" (QS
48:4)
Syetan menggantikan kedudukan Allah bersemayam di istana hati manusia yang
lalai. Allah akan memalingkan dan menghinakan orang yang lalai akan Allah. Allah
akan mengunci dan mematikan hati sehingga ia diberi gelar "binatang ternak!!!"
Bahkan lebih sesat dari itu. Kalau sampai terjadi seperti ini maka tertutuplah hati
untuk menerima cahaya dari Allah Swt. Maka tidak heran jika perbuatannya akan
cenderung mengikuti langkah-langkah syetan yang dilarang oleh Allah, syetan
menggantikan posisi Allah menduduki hati yang tertutup dan dialah yang akan
menasehati dan membimbing ke jalan yang sesat. Kekejian itu akan menyeruak ke
dalam kalbu melalui hembusan ilham sehingga akal fikiran tidak mampu menghalau
datangnya petunjuk tersebut. Marah dan benci tidak pernah direncanakan, akan
tetapi ia datang langsung ke pusat hati, dan tubuh tanpa daya mengikuti kemauan
sihir sang iblis. Hati menjadi buta.......!!!
Allah berfirman :
"Barang siapa yang berpaling dari pengajaran Allah Yang Maha Pemurah, Kami
adakan baginya syetan (yang menyesatkan) maka syetan itulah yang menjadi teman
yang selalu menyertai" (QS 43:36)
"Hai orang- orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syetan, maka sesungguhnya syetan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji
dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya niscaya
tidak seorangpun dari kamu sekalian bersih ( dari perbuatan keji dan mungkar )
selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (QS 24:21)
Iman dan kafir terletak di dalam hati, Allah telah membeberkan berikut contohcontohnya
antara orang yang dibukakan hatinya dan yang ditutup hatinya, serta
perilaku keduanya. Maka keputusannya terletak kepada kebebasan manusia itu
sendiri untuk memilih jalan yang sesat ataupun yang lurus. Karena disitu akan
mendapatkan bimbingan langsung baik jalan kesesatan maupun jalan ketaqwaan.
Firman Allah :
"Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan-Nya), maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. Sungguh beruntunglah orang yang
menyucikan jiwa itu dan merugilah orang yang mengotorinya" (QS 91:7-10)
Ayat di atas memberikan pengertian atas pentingnya membersihkan jiwa, sehingga
apabila hal ini terjadi, maka Allah-lah yang akan membimbing ketaqwaan, keimanan,
serta ketulusan. Namun sebaliknya Allah akan menistakan manusia yang melalaikan
akan Allah serta mengotori hatinya dengan mengirim musuh Allah sebagai penasehat
dan menuntunnya ke jalan kesesatan.
Kemudian apa langkah selanjutnya, serta bagaimana terapi untuk mengembalikan
hati yang sudah terlanjur karam dilumpur nista ?
Pertama, kita sudah memahami bahwa penyebab utama dari ketidakmampuan
berbuat baik dan kesulitan menjaga dari perbuatan keji dan mungkar serta tidak
didengarnya setiap doa, adalah "tertutupnya mata hati dari NUR ILAHI ".
Kedua, konsentrasikan masalah mengurus hati dulu, jangan mempersoalkan hal
yang lain, karena "hati" sedang menderita sakit kronis. Kita harus perhatikan dengan
sungguh-sungguh, dan memasrahkan diri kepada Sang Pembuka Hati ... Dialah yang
menutup hati kita, membutakan, mentulikan, dan mengunci mati dan tidak
memberikan kefahaman atas ayat-ayat Allah yang turun ke dalam hati.
Mari kita perhatikan kedalam, kita jenguk hati kita yang sedang berbaring tak
berdaya, disitu terlihat syetan dengan leluasa memberikan wejangan dan petunjuk
bagaimana berbuat keji dan mungkar. Ia menuntun pikiran untuk menerawang ke
angkasa, mengajaknya mi'raj keangan-angan panjang dan melupakannya ketika
badan sedang shalat, sedang berwudhu' dan membaca Al Qur'an dan ibadah yang
lain. Kita sudah beberapa kali mencoba menepis ajakan itu namun apa daya
kekuatan iblis memang luar biasa, kita bukan tandingannya untuk melawan dan
mengusirnya. Ia ghaib dan licik ... ia berjalan melalui aliran darah manusia, ia bisa
menembus tembok ruang dan waktu, ia ada dalam fikiran dan bahkan bersemayam
di dalam hati manusia. Cukup sudah usaha kita untuk melawannya, namun gagal
dan gagal lagi.... ...
Namun ada yang yang tidak "MATI", yaitu diri sejati yang selalu melihat keadaan
hati kita yang sakit. Ialah "Bashirah" (QS 75:14), ia tidak pernah bersekongkol
dengan syetan, ia yang mengetahui kebohongan hati, kejahatan, dan ia selalu
mengikuti fitrah Allah, ia jujur, tawadhu', khusyu', kasih sayang dan adil ( lihat tafsir
sofwatut tafasir, oleh prof. Ali Assobuni).
Kita harus cepat mendengarkan suara Dia yang selalu mengajak ke arah kebajikan,
Ia sangat dekat dengan Allah, Ia sangat patuh, Ia penuh iman, Ia berbicara menurut
kata Allah (ilham), dan kedudukannya sangat tinggi di atas syetan dan jin sehingga
mereka tidak bisa menembus untuk menggodanya (QS 37:8). Anda bisa
merasakannya sekarang ... tatkala anda berbohong, Ia berkata lirih ... kenapa kamu
berbohong ... Ia tidak tidur tatkala kita tidur ... Ia melihat tatkala kita bermimpi
dikejar anjing ... Ia melihat ketika jin menggoda dan syetan menyesatkan, namun
hati tidak kuasa mengikuti kata bashirah yang oleh Allah digelari "RUH-KU". Maka
beruntunglah orang yang membersihkan jiwanya dan celakalah orang yang
mengotorinya (QS 91:9-10)
Kita kembali kepada persoalan hati ,
Mari kita perbaiki hati kita dengan cara mendatangi Allah, kita serahkan persoalan ini
... kerumitan hati yang selalu ragu-ragu ... ketidakmampuan menahan syahwat yang
bergolak keras ...
Mari kita contoh Nabi Yusuf ketika gejolak nafsu sudah menguasai hatinya, Ia tidak
kuasa lagi menahan syahwatnya tatkala Julaiha datang menghampiri untuk
mengajaknya berbuat mesum ... Ia cepat berpaling dan menghampiri Allah dan
mengadukan keadaan syahwatnya yang terus menerus mengajak kepada
keburukan. Kemudian Allah mendatangkan rahmat-Nya dan memalingkan hatinya,
mengangkat kekejian di dalam hatinya, dan akhirnya Nabi Yusuf terbebas dari
perbuatan yang dilaknat Allah Swt.
Allah sendiri yang akan memalingkan hati dari perbuatan keji dan mungkar sehingga
terasa sekali sentuhan Ilahi tatkala mengangkat kotoran hati dengan cara
menggantikannya dengan perbuatan baik dan ikhlas.
Allah berfirman :
"Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan
Yusuf, dan Yusuf-pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu, andaikata dia
tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan
daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hambahamba
Kami yang terpilih (ikhlash)" (QS 12:24)
Mungkin kita masih ragu-ragu ... apa mungkin kita bisa mendapatkan burhan dan
bimbingan Allah dalam menghindari perbuatan keji dan mungkar? Mari kita hindari
prasangka yang buruk terhadap Allah, kita timbulkan rasa percaya bahwa hanya
Allah-lah yang mampu memberikan hidayah dan bimbingan serta mencabut
persoalan yang kita hadapi.
Pada bab penyucian jiwa, telah saya sampaikan praktek berkomunikasi kepada Allah.
Saya berharap anda telah melakukannya dengan penuh hudhu' dan ikhlas, sehingga
anda juga akan dibukakan rahmat dan hidayah-Nya. Amin....
Mari kita kembali mecoba berkomunikasi kepada Allah seperti tercantum dalam bab
sebelumnya.
Ketika Allah membuka Hidayah ke dalam "Hati". Hilangkan rasa takut tersesat
didalam menempuh jalan ruhani ... bekal kita adalah tauhid, lambungkan jiwa
melayang menuju Allah ... dekatkan dan berbisiklah dengan kemurnian hati ...
jangan menghadap dengan konsentrasi pikiran, sebab anda akan mengalami pusing
dan tegang. Usahakanlah tubuh anda rileks dan pasrah ... biarkan hati bergerak
menyebut Asma-Nya yang Maha Agung ... Ajaklah perasaan dan fikiran untuk hadir
bersujud dihadapan-Nya.
Jangan hiraukan kebisingan di luar ... usahakan hati tetap teguh menyebut nama
Allah berulang-ulang ... sampai datang ketenangan dan hening serta rasa dingin
didalam kalbu ... kalau anda mengalami pusing dan penat ... berarti cara
berdzikirnya menggunakan kosentrasi didalam fikiran, maka ulangi dengan cara
berkomunikasi didalam jiwa / hati ...
Mohonlah kepada Allah agar dibukakan hati dan dimudahkan menempuh jalan
menuju makrifat
Biasanya ... kalau kita mendapatkan ketenangan dan kekhusyu'an didalam
berkomunikasi dengan Allah ... mula-mula hati menjadi sangat terang ... mudah
sekali menangis terharu tatkala kita menyebut Asma-Nya ... kita tidak kuasa
membendung air mata ketika shalat ... membaca Al Qur'an dan melihat keagungan
Allah yang lain ... hati sering bergetar manakala kita berhadapan dengan-Nya ...
badan turut berguncang dan berat dirasa seakan ada yang mendorong untuk
bersujud dan menangis ... keihsanan dan tauhid kepada Allah bertambah kuat.
Keyakinan bertambah lekat, serta perubahan demi perubahan didalam kalbu
semakin terlihat. Perilaku kita akan dibimbing ... perilaku hati yang semula kaku dan
cenderung kasar berubah dengan sendirinya ..menjadi lembut ... Yang semula shalat
fikiran turut melayang-layang berubah dengan kekhusyu'an dan terasa nikmatnya ...
dan seterusnya ...
HAL INI TIDAK AKAN PERNAH TERJADI, APABILA KITA HANYA MENJADIKAN ARTIKEL
INI SEBAGAI REFERENSI ILMU YANG HANYA UNTUK DIPERDEBATKAN, LALU
DISIMPAN DALAM ALMARI ...
Untuk lebih jelasnya mari kita lanjutkan perjalanan kita ini dengan mengikuti
bagaimana Allah mengajarkan manusia, binatang, para Nabi dan Rasul. Selanjutnya
anda akan saya ajak berguru kepada Yang Maha Mursyid ... Maha Mengetahui, Maha
Guru dari segala guru, Yang Maha Sakti. Dialah yang mengajarkan manusia apa-apa
yang belum diketahuinya. Dia mengajarkan binatang lebah untuk membuat
sarangnya. Dan ... kepada Dia-lah segala makhluk bergantung ... Dialah Sang Guru
Sejati ... Gurunya para Guru ... Gurunya para Nabi dan Rasul … Gurunya para
Wali dan Gurunya KITA yang bertaqwa !!!

Mbah Jo

Mbah Jo dirawat ndhik rumah sakit. Jare doktere asmane wis kronis,
irungesampek dipasangi selang.
Wis pirang-pirang dino iki mbah Jo meneeng ae koyok wong koma, mripate
thok sing ketap-ketip. Dikiro wis wayahe mangkat, anake nyelukno
mudhin ben didungakno.
Pas mudhine enak-enak ndungo, moro-moro Mbah Jo megap-megap gak
isokambekan, raine pucet, tangane gemeter. Nganggo bahasa isyarat mbah
Jo nirokno wong nulis. Anake ngerti maksute, langsung dijupukno kertas
ambek pulpen.
Ambekmegap-megap, mbah Jo nulis surat. Karo siso-siso tenogone
mbah Jo ngekekno surate iku mau nang pak Mudhine. Ambek Pak Mudhine
kertase iku mau langsung disaki, rasane kok gak tepak moco surat
wasiat saiki, pikire pak Mudhin.
Mari ngesaki surat pak Mudhin nerusno ndungone. Gak sui mari ngono
mbah Jo mangkat. Akeh wong sing kelangan, soale masio sangar, mbah
Jo iku wonge apikan.

Pas selametan pitung dinane Mbah Jo, Pak Mudhin diundang maneh.
Mari mimpin ndungo, Pak Mudhin lagek iling lek dhe’e nganggo klambi
batik sing digawe pas mbah Jo mangkat. Lha ndhik sake lak onok titipan
surate Mbah Jo tah, waduh selamet iling aku rek, pikire pak Mudhin.
”Derek-derek sedoyo, onok surat seko almarhum Mbah Jo sing durung
taksampekno nang peno kabeh.
Lek ndhelok mbah Jo pas uripe, isine mestine nasehat kanggo anak
putune kabeh. Ayok diwoco bareng-bareng isi surate”. Mari ngono pak
Mudhin ngerogoh surat ndhik sake, bareng diwoco tibake munine..
HE.. NGALIO DHIN !!! OJOK NGADHEK NDHIK SELANG OXIGENKU
!!!

Senin, 16 Februari 2009

Etika Islam

Masalah kemerosotan moral dewasa ini menjadi santapan keseharian masyarakat
kita. Meski demikian tidak jelas faktor apa yang menjadi penyebabnya. Masalah
moral adalah masalah yang pertama muncul pada diri manusia, "baik ideal maupun
realita". Secara ideal bahwa pada ketika pertama manusia di beri "ruh" untuk
pertama kalinya dalam hidupnya, yang padanya disertakan "rasio" penimbang baik
dan buruk (QS 91:7-8). Secara realita bahwa dalam kehidupan bermasyarakat,
dimana individu merupakan bagian dari masyarakat manusia, maka yang awal mula
muncul dalam kesadarannya ialah pertanyaan "What must be ?"(Apa yang
seharusnya), yang lalu disusul dengan "What must I do ?" (Apa yang harus
dilakukan) pelaksanaan "What must I do?", menanti lebih dulu jawaban "What must
be?". Pertanyaan "What must be?", ditujukan kepada kemampuan rohani pada diri
manusia yang berbentuk kategori-kategori tertentu yang tidak timbul dari
pengalaman maupun pemikiran, kemampuan ini bersifat intuitif dan apriori. Oleh
sebab itu masalah moral adalah masalah "normatif". Di dalam hidupnya manusia
dinilai!!! Atau akan melakukan sesuatu karena nilai!!! Nilai mana yang akan dituju
tergantung kepada tingkat pengertian akan nilai tersebut. Pengertian yang dimaksud
adalah bahwa manusia memahami apa yang baik dan buruk serta ia dapat
membedakan keduanya dan selanjutnya mengamalkannya. Pengertian tentang baikburuk
tidak dilalui oleh pengalaman akan tetapi telah ada sejak pertama kali "ruh"
ditiupkan. Demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya (QS 91:7-8). Pengertian (pemahaman)
baik dan buruk merupakan asasi manusia yang harus diungkap lebih jelas, "atas
dasar apa kita melakukan sesuatu amalan". Imam Al Ghazali menamakan pengertian
apriori sebagai pengertian "awwali". Dari mana pengertian-pengertian tersebut
diperoleh, sebagaimana ucapannya :
"Pikiran menjadi sehat dan berkeseimbangan kembali dan dengan aman dan yakin
dapat ia menerima kembali segala pengertian-pengertian awwali dari akal itu.
Semua itu terjadi tidak dengan mengatur alasan atau menyusun keterangan,
melainkan dengan Nur (cahaya) yang dipancarkan Allah SWT ke dalam batin dari
ilmu ma'rifat".
Di sini, Al Ghazali mengembalikannya ke dasar pengertian awwali yaitu pengertian
Ilahiyah. Sedang Plato menyebutnya "idea". Ia mengungkapkan bahwa "idea"
hakekatnya sudah ada, tinggal manusia mencarinya dengan cara menenangkan
pikiran atau disebut mencari inspirasi bagi seniman. Jelasnya "idea" bukan timbul
dari pengalaman atau ciptaan pikiran sehingga menghasilkan "ide". Kesadaran
tentang keberlangsungan ide yang sejak awal ruh ditiupkan, menyebabkan Allah
dalam firman-firmanNya menghendaki manusia masuk pada posisi asasinya yang
disebut "idul fitri", yaitu kembali kepada "kesejatian diri". Sebab kesejatian inilah
yang bisa dipertanggung-jawabkan kebenaran sikapnya karena perilaku yang keluar
bersandar pada kejernihan fitrah. Maka sesungguhnya fitrah itu sejalan dengan
kehendak Allah (fitrah Allah), yang disebut dalam Al Qur'an. "Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.

(itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya" (QS
30:30). Pada dasarnya fitrah manusia itu suci, akan tetapi proses penerimaan ide
(ilham) tersebut, terkadang menjadi tidak murni disebabkan kekotoran jiwa yang
diliputi nafsu syahwat. Dalam hal ini Allah berfirman dalam surat Asy Syams ayat 7-
8 :
"Dan demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu Dan merugilah orang yang mengotorinya" (QS 91:7-8)".
Betapa bahayanya ilham-ilham tersebut bila diterima oleh jiwa yang kotor, sebab
pengetahuan-pengetahuan itu akan digunakan untuk melakukan hal-hal seperti :
mencuri, korupsi, menipu dan merusak alam semesta. Tetapi alangkah indahnya jika
ilham-ilham tersebut diterima oleh jiwa yang tenang dan bersih yang akan
menimbulkan kemaslahatan bagi dirinya maupun alam semesta. Maka dari sini dapat
dimengerti, walau seseorang sudah memiliki pengertian "baik buruk secara apriori",
bukan berarti ia telah tahu secara mutlak, namun pengertiannya masih bersifat
relatif dan hal itu akan lebih jelas jika disinari oleh wahyu ke-Tuhanan. Sebab ia
tidak akan mampu menelusuri secara intelektual tanpa adanya "daya spiritual"
dalam menerima ide yang sesuai dengan Fitrah Allah. Sebaliknya kalau dibiarkan
jiwa kita diam, terbelenggu oleh keinginan syahwat, maka apa yang diperoleh oleh
jiwa berupa ide ilmu pengetahuan akan digunakan sesuai dengan kepentingan
syahwatnya.
Kembali kepada masalah "nilai". Seseorang pasti akan dinilai atau pasti akan
melakukan sesuatu karena nilai, dan jika "nilai" masih bersifat relatif, maka nilai
tersebut akan tergantung kepada dasar yang ia pakai. Bisa jadi, mencuri itu
mendapat nilai kebajikan apabila perilaku tersebut didasari oleh hukum-hukum
tentang permalingan, juga sekularisme, hedonisme, komunisme dan ateisme, dasardasar
inilah yang akan menilai perilaku itu baik atau buruk. Begitupun tata nilai ke-
Tuhanan (Islam), setiap "perilaku" Islam sangat menekankan orientasi niat yang
kuat, menyandarkan peribadatannya didasari konsep "LIlahi ta'ala". Pendasaran
kepada setiap "laku" manusia, mengandung tuntutan kesadaran, bukan paksaan!!!
Perilaku seseorang tersebut baru bisa dikatakan mempunyai nilai. Hal ini sesuai
dengan Hadist Nabi :
"Sesungguhnya segala perbuatan itu disertai niat. Dan seseorang diganjar sesuai
dengan niatnya" (Hadist riwayat Bukhari Muslim).
Dalam hadist tersebut jelas, setiap perilaku mempunyai dasar (niat), sehingga
perbuatannya dikategorikan baik atau buruk dimana ia menggantungkan niatnya.
Suatu riwayat, ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, diungkapkan masalah "niat".
"Maka barang siapa hijrahnya didasari (niat) karena Allah dan Rasulullah maka
hijrahnya akan sampai diterima oleh Allah dan Rasulullah. Dan barang siapa
hijrahnya didasari (niat) karena kekayaan dunia yang akan didapat atau karena
perempuan yang akan dikawin, maka hijrahnya terhenti (tertolak) pada apa yang ia
hijrah kepadanya" (Al Hadits).
Di sini sangat penting kesadaran akan "niat" untuk memperjelas perbedaan mana
yang baik menurut nafsu, dan baik menurut Allah. Perilaku yang lalai atau tidak
karena Allah seperti dalam shalat, maka nilai kelurusan shalat yang terhalang olehpikiran yang tidak khusyu' akan berakibat pada rusaknya nilai ibadah shalat. Seperti
yang termaktub dalam Al Qur'an surat Al Maa'uun ayat 4-5 :
"Maka celakalah bagi yang melakukan shalat karena"niat"-nya (lalai, terhambat oleh
keinginan supaya dilihat orang lain) (QS 107:4-5).
Perbuatan macam ini tidak bisa dikatakan sebagai "Dien". Sebab agama mempunyai
satu dasar penilaian yang sangat sempurna yakni; Islam, Iman, dan Ihsan. Etika
pada umumnya menentukan "sadar bebas" sebagai obyeknya, dan ternyata hal ini
hanya melihat dari segi lahiriah perbuatan. Setia dan bertingkah baik an-sich tanpa
memperhitungkan syarat lain, memang dapat digolongkan ke dalam "kebajikan".
Namun belum tentu dapat dikategorikan dalam kebajikan jika ditinjau lebih jauh
pada kondisi-kondisi lain, yakni pada apa perbuatan itu bersangkut paut atau apa
yang melatari perbuatan tersebut. Misalnya Abdullah memberikan sedekah kepada
fakir miskin. Ketika terjadi tindakan tersebut terdapat :
1. Subyek yang berbuat, yaitu "Abdullah".
2. Obyek yang diperbuat, yaitu Abdullah melakukan "sedekah".
3. Obyek yang terkena perbuatan, yaitu sedekah diberikan kepada fakir miskin.
4. Obyek yang dipergunakan, yaitu niat karena apa (bisa karena ingin dilihat orang,
karena Allah dll).
Pada faktor-faktor inilah disamping "niat" batin, Islam meletakkan nilai syarat yang
ikut ambil bagian dalam menilai suatu perbuatan sebagai tindakan etis. Tegas sekali
Islam mewajibkan "niat karena Allah" sebagai tanggung jawab penghambaan kepada
Kholiqnya.
Tanggung jawab Islam dalam syariat (etika ke-Tuhanan) selalu mengandung
kedalaman dimensi yang tidak saja tindakan fisik sebagai obyek nilai, juga di
dalamnya nilai psikologis merupakan tindakan etis yang secara naluriah,
mengembalikan kepada Fitrah Allah. Dalam tahapan ini manusia sampai kepada
tahapan tertinggi yang dalam tindakannya sesuai dengan kehendak Allah (Fitrah
Allah), diharapkan setiap perilaku (ibadah) sampai kepada syarat; Islam, Iman dan
Ihsan. Karena akan dikatakan (dinilai) sebagai agama apabila meliputi ketiga kriteria
tersebut.
Dalam Hadist riwayat Bukhori dan Muslim disebutkan :
"Artinya: sesungguhnya Jibril pernah datang kepada Nabi dalam bentuk seorang
Arab Badui, lalu ia bertanya kepadanya tentang Islam, maka Nabi menjawab, "Islam
itu, ialah hendaknya engkau bersaksi sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah dan
sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, engkau
keluarkan zakat, engkau puasa bulan Ramadhan dan engkau pergi haji ke Baitullah
jika engkau mampu pergi ke sana. Lalu Jibril bertanya apakah Iman itu? Nabi
menjawab, "Yaitu hendaknya engkau beriman kepada Allah, kepada Malaikat-Nya,
kepada kitab-kitab-Nya, kepada para Utusan-Nya, bangkit dari kubur sesudah mati,
dan hendaknya engkau beriman kepada takdir tentang takdir baik dan buruknya.
Jibril bertanya lagi, apakah Ihsan itu? Nabi menjawab, yaitu hendaknya engkau
menyembah Allah yang seolah-olah engkau melihat Allah, sekalipun engkau tidak
bisa melihat-Nya tetapi Ia bisa melihat engkau. Kemudian dalam akhir Hadist itu
dikatakan Rasulullah saw bersabda (kepada para sahabatnya) : Dia itu Jibril, Ia
datang kepadamu untuk mengajarkan tentang agamamu".
Hal ini seluruhnya termasuk agama, dan agama (dien) itu sendiri berarti khudhu'
(tunduk) dan dzull (merendah) seperti perkataan : "Ku tundukkan dia, maka ia
tunduk" yakni : beribadah kepada Allah dan taat kepada-Nya serta merendahkan diri
kepada-Nya.
Agama meliputi :
a. Islam : berupa syariat Islam (syahadat, shalat, zakat, puasa, haji).
b. Iman : kepercayaan, keyakinan, transendental.
c. Ihsan : kekuatan psikologis dimana ia mengaitkan nilai perilakunya karena Allah.
Maka setiap peribadatan, apakah itu shalat, zakat, puasa akan terasa sia-sia apabila
dilakukan tanpa dibarengi dengan tunduk dan patuh serta merasakan adanya sikap
"ihsan" (seakan-akan melihat Allah, jika tidak mampu melihat-Nya sesungguhnya Ia
melihat kalian). Hal inilah yang selalu menjadi permasalahan pokok dan
mensosialisasi sebagai kebiasaan buruk yang tidak lagi menjadi masalah, padahal
kita bertahun-tahun melakukan peribadatan tidak mendapatkan apa-apa kecuali
capek dan sia-sia. Ihsan adalah kontak batin dan dialogis, responsif. Ihsan adalah
roh setiap peribadatan, dan menentukan diterima tidaknya peribadatan. Sikap ini
pula yang menjadikan ihsan itu rukun agama, yang apabila ditinggalkan salah satu
rukun agama, maka batallah sebagai agama. Permasalahan rukun agama ini telah
dihukumkan dan disyaratkan kepada orang yang sampai baligh. Sebagaimana Hadist
Rasulullah :
"Hukum tidak berlaku bagi tiga golongan; orang yang tidur sampai bangun, anak
kecil sampai mimpi basah, dan orang gila sampai sembuh" (Abu Dawud, Ibnu Majah
dan Annasay, hadist sohih).
Selanjutnya Islam mengajarkan bahwa seorang muslim yang beramal kebajikan,
tetapi tujuannya bukan LIlahi ta'ala tidak mungkin diterima amalnya, sebagaimana
firman Allah surat Az Zumar ayat 2 :
"Kami menurunkan kitab ini kepada engkau dengan sebenarnya, sebab itu
sembahlah Allah seraya mengihklaskan agama bagi-Nya saja" (QS 39:2).
Nash tersebut di atas merupakan kesimpulan dari tujuan etika Islam, yaitu
mengembalikan kepada posisi fitrah manusia, yang dengan kesadaran itu, maka ia
akan menjadi manusia paripurna dan ia akan berakhlaq sebagaimana akhlaq Allah,
dengan kecenderungan berbuat baik tanpa beban dan paksaan.
Untuk itu kecenderungan berbuat baik akan terjadi apabila kita mampu berusaha
membersihkan jiwa. Dan kebersihan jiwa akan didapat apabila kita melaksanakan
peribadatan sesuai dengan kriteria-kriteria pada penjelasan di atas