Kamis, 05 Maret 2009

Misteri Al-Hallaj

Pada abad ke 9 Masehi, berkembang kehidupan kerohanian Islam dengan jalan
melakukan Zuhud (mengabaikan dunia) untuk mencapai kesempurnaan makrifat dan
tauhid kepada Allah. Gagasan-gagasan para ahli sufi dan syiah pada abad tersebut
telah ditemukan, baik yang berupa berupa syair ataupun pemikiran yang
menunjukkan keanekaragaman kemungkinan dalam kehidupan mistik, seperti
halnya Al Ghazaly, Dzun Nun (859 M), Bayezid Bistami (874 M), dan Al Harith al
Muhasibi (857 M) dan Husein Ibn Mansur Al hallaj (858 M).
Pemikiran dan peranan para tokoh inilah yang perlu kita ketahui sebagai wacana
keilmuan dan sejarah, sekaligus menganalisa konflik pemikiran yang tidak pernah
habis dibahas, karena pihak-pihak yang berbeda pendapat tidak pernah saling
bertemu untuk memberikan klarifikasi dalam satu majelis, kecuali hanya saling
mengecam dan mengkafirkan dengan musabab bibit konflik politik kekuasaan yang
serakah dan licik sejak lama.
Banyak kisah keshalehan serta kata-kata bijak penuh hikmah yang mengisi setiap
referensi kitab-kitab keislaman di Timur maupun di Barat yang berasal dari para
tokoh Sufi ini, baik yang bisa difahami oleh kaum awam sampai pernyataannya yang
banyak mengundang perdebatan yang tidak henti-hentinya sampai sekarang.
Menarik untuk dikaji kembali penyataan yang populer yang di lontarkan oleh Husein
Ibnu Al Hallaj " Akulah kebenaran Yang Tertinggi ". Peristiwa ini merubah pandangan
masyarakat umum terhadap kaum Sufi atau para Zahid yang menjalankan olah
kerohaniannya dengan melakukan dzikir secara rutin, shalat malam dan menjauhkan
diri dari perbuatan maksyiat. Sehingga pada ujungnya berpengaruh terhadap
perkembangan ilmu tafsir yang menjadi mandek.
Terlihat para mufassirin agak ragu-ragu menafsirkan kata-kata hiperbolis kedalam
pengertian proporsi yang sebenarnya, dan sampai kini orang menjadi merasa takut
apabila membicarakan mengenai ilmu hakikat dan makrifat. Mereka mengira ilmu
tasawuf adalah ajaran sesat dan membahayakan. Saya menganggap pandangan
mereka terlalu gegabah dan tidak bijaksana. Pandangan yang mengakibatkan ajaran
Islam menjadi amat dangkal, karena nilai spiritual yang seharusnya diajarkan telah
hilang, yaitu nilai psikologi keihsanan kepada Allah dalam setiap peribadatan, yang
mestinya paling dianggap menentukan dalam kaitan diterima atau ditolaknya
perilaku keagamaan seseorang.
Saya terkesan dengan pandangan Yahya, seorang Sufi yang shaleh menanggapi
pernyataan orang Yang menganggap dirinya Tuhan dengan doa dalam bentuk
dialektis :
Oh Allah , kau telah mengirim Musa dan Harun ke Fir'aun si pemberontak dan
berkata, " berbicaralah baik-baik dengannya" , Oh Allah , inilah kebaikan hati-Mu
terhadap orang yang menganggap dirinya Tuhan; bagaimana pula gerangan
kebaikan hati-Mu terhadap orang menjadi abdimu sepenuh jiwanya ? …Oh Allah, ada
takut kepada-Mu karena aku budak, dan aku berharap pada-Mu karena kaulah Tuan
! …Oh Allah bagaimana pula aku tidak takut padaMu karena Kau Maha Kuasa ? Oh

Allah , bagaimana aku datang kepada-Mu karena aku budak yang memberontak, dan
bagaimana aku tidak datang kepada-Mu karena Kau Penguasa yang pemurah? (
Dimensi Mistik dalam Islam, Annemarie Schimmel hlm,53 )
Sebagai tokoh yang tiada hentinya dibicarakan di dunia mistik Islam maupun
dikalangan yang memusuhinya, Al Husain ibnu Mansur Al Hallaj pada tahun 922 M
dijatuhi hukuman mati oleh para wakil kaum ahli hukum karena ajaran yang
disebarkannya, yang dianggap telah keluar dari aqidah Islam -yang terutamaberasal
dari ucapannya yang terkenal, Ana 'l Haqq ( Akulah kebenaran Tertinggi ).
Pro dan kontra dari jatuhnya hukuman tersebut -sampai sekarang- masih juga
terjadi, namun demikian saya memiliki alasan sendiri mengapa tokoh ini masih
pantas dibahas pada sebuah telaah seperti ini, yaitu kemungkinan a priori bahwa
riwayat hidup dan ajarannya lebih banyak berpengaruh terhadap Islam di Indonesia
dari pada ditempat lain.
Sejak lama, terutama karena penelitian Snouck Hurgronje dan B.O. Schrieke, kita
tahu dengan pasti bahwa para saudagarlah yang berperan dalam ekspansi agama
Islam di Indonesia berasal dari India, khususnya dari daerah Gujarat, dipantai Barat
Laut semenanjung India. Daerah tersebut mempunyai hubungan yang khusus
dengan Al Hallaj, dimana dia sendiri membawa agama Islam kesana dan bahkan
berhasil membawa tiga kasta ke dalam pangkuan agama Islam. Bahwa konteks itu
memang cukup luas jangkauannya terbukti oleh kenyataan, bahwa sebagian dari
kasta-kasta itu sampai sekarang ini masih disebut orang Mansuri, sedangkan makam
Al Hallaj di Bagdad tetap didatangi oleh orang-orang Gujarat. ( Massignon, Hallaj,
halm.85 ,).
Saya kira tidak mungkin mengabaikan riwayat beliau karena banyak memainkan
peranan penting dalam dunia Islam di Indonesia dari pada di tempat lain, terutama
di Jawa dan Aceh. Kita bisa melihat baik tersirat maupun tersurat, dalam ajaran
sinkretisme Jawa terdapat unsur-unsur pantheisme atau manunggaling kawula Gusti,
yang berakar dari ajaran Mistik Islam kejawen dengan latar belakang ajaran Tharikat
Naqsabandiyah yang dianut oleh Pujangga besar Raden Ngabehi Ranggawarsita
dalam kitabnya Serat Wirid Hidayat Jati ataupun ajaran Hindu yang merupakan
sumber paham pantheisme.
Syekh Siti Jenar juga mengalami nasib tragis ketika harus menghadapi hukuman
mati yang dijatuhkan penguasa Demak yang didukung penuh oleh Dewan Agama
yang dipimpin wali Songo, karena dianggap telah membuka tabir rahasia ketuhanan
dalam dirinya, yaitu manuggaling kawula Gusti. Jika Al hallaj tewas dipancung
kepalanya, Syekh Siti Jenar memilih sendiri cara untuk mati ( DR. Abdul Munir
Mulkhan, Ajaran Dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, hal 51 ).
Bagaimana penilaian dunia Islam terhadap Al hallaj ??
Banyak pendapat umum yang mengatakan Al hallaj mati karena ajaran mistiknya
yang terkenal Ana'l Haqq (Akulah Kebenaran Tertinggi ). Tidak banyak kaum
muslimin yang mengetahui dengan persis apakah sebenarnya yang terjadi terjadi
terhadap kasus yang didakwakan kepadanya. Benarkah Al hallaj penganut faham
ittihad (pantheisme) yang banyak dipengaruhi ajaran Hindu dan mistik katholik, atau
ajaran Zanadika, tentang cinta kasih manusia terhadap Allah sebagai suatu daya
tarik material antara sumber cahaya dan percikan-percikan yang mengalir dari
sumber itu (emanasi).
Di kalangan kaum mistisi sendiri banyak yang berpendapat, bahwa kesalahan Al
Hallaj ialah menyiarkan dimuka umum kebenaran-kebenaran esoteris (merenggut
selubung rahasia). Konon kabarnya As Sibli mengatakan kepada seorang utusan
menjelang eksekusinya, pergilah mencari Al Husein ibnu Mansur dan katakan
kepadanya, "Allah telah memberikan kepadamu jalan untuk mengetahui salah satu
rahasia -Nya , tetapi karena engkau menyiarkan kepada umum, maka kau harus
merasakan pedang" :( Massignon Hallaj, hal.310 ).
Ada yang berpendapat, bahwa ajarannya mengenai manunggalnya Allah dan
manusia tidak dibenarkan, namun dapat dimaafkan sebagai suatu ketidaktelitian
hiperbolis, akibat kekuatan ekstasis (Massignon, hallaj, hlm.352, dikutip dalam buku
Manunggaling kawula Gusti P.J Zoetmulder, Gramedia, Jakarta 1990). Sementara
para sufi moderat tidak memberikan komentar terlalu banyak atas kejadian ini.
Mereka hanya berpendapat bahwa Al Hallaj hanyalah menghayati firman Allah dalam
surat Thaha: 14, innani Ana Allah laailaha illah Ana fa'budni …sesungguhnya Aku ini
adalah Allah , tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan
dirikanlah Shalat untuk mengingat Aku.
Sedangkan Al ghazaly yang juga membahas pengalaman para mistisi menandaskan,
bahwa ekstasis itu bukanlah terleburnya makhluk dalam Allah sebagai kesatuan
dalam identitas (ittihad) juga bukan manunggalnya atau penyatuan antara dua pihak
yang berada pada tingkat "ADA" yang sama, tetapi penyatuan itu hanyalah seolaholah
dan ucapan-ucapan para mistisi yang mengalami kedahsyatan Allah, sehingga
hendaknya kita pandang sebagai hiperbola, kiasan yang melebih-lebihkan, akibat
kemabukan cinta kasih (dalam Ihya' ulumuddin, bagian II kitab adabi s sama'I wa 'l
wajdi , fi atari 's sama'I adabihi)
Saya tidak ingin masuk kedalam kesimpulan terlalu dini, karena banyak sekali ayatayat
Alqur'an yang dijadikan landasan oleh para sufi sebenarnya mengandung
makna hiperbolis; sehingga kalau diungkapkan sekilas, kita akan terjebak kepada
pengertian yang salah. Misalnya pada firman-firman Allah berikut ini: innahu bikulli
syaiin muhithun, Sesungguhnya Dia Maha Meliputi Segala Sesuatu
( Fushilat:54); selanjutnya kullu syai in halikun illa wajhahu, dan tiap-tiap sesuatu
pasti binasa, kecuali wajahnya ( Qasas: 88 ); juga pada ayat : Nahnu akrabu ilaihi
min hablil waridi, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya ( Qaaf:
16 ); falam taqtuluuhum walakin 'l allaha qatalahum wama ramaita idza ramaita
walakin 'l allaha rama, Maka ( yang sebenarnya ) bukan kamu yang membunuh
mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang
melempar, tetapi Allah-lah yang melempar ( Al anfaal : 17 ).
DB Mac Donald menafsirkan ungkapan-ungkapan ini sebagai expression of implicit
pantheism atau in philosophical language immanential monism . Pandangan ini harus
juga ditafsirkan eksplisit, namun bahwa ada peluang bagi suatu penafsiran pantheis,
memang tak dapat disangkal. Perkembangan seterusnya membuktikan, bahwa
peluang itu memang ada. Banyak mufassir takut terjebak kepada makna hiperbolis
atau mutasyabihat, sehingga mereka tidak berani menterjemahkan arti yang
sebenarnya.seperti dalam surat Fushilat:54 Bahwa yang meliputi segala sesuatu
adalah dhomir Hua, yang menunjukkan sosok orang ketiga tunggal yang melakukan
suatu perbuatan. Akan tetapi dengan alasan apa mereka menggantikan arti Hua (
Dia), menjadi sebuah sifat yang meliputi segala sesuatu. Sedangkan kita tahu bahwa
sifat itu ada, karena ada "wujud"(Hua ) tempat bergantungnya (sandaran) sifat.
Inilah yang saya maksudkan bahwa dhomir Hua menunjukkan bukan kepada sifat-
Nya, akan tetapi wujud secara sempurna (bikamalaatihi). Yaitu kesempurnaan
meliputi Dzat, sifat, af'al dan Asma'. Dhommir Hua menunjukkan "Wujud",
sedangkan sifat, af'al dan Asma merupakan diluar Diri-Nya (wujudnya) tetapi
bergantung kepada Diri-Nya, karena adanya disebabkan oleh Dzat (sosok). Beberapa
Mufassir menterjemahkan :"kekuasaan-Nya lah meliputi segala sesuatu", ada juga
yang menterjemahkan : "ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu" dan banyak lagi
terjemahan / tafsiran pada sekitar sifat-sifat-Nya. Hanya ulama' yang memiliki ilmu
makrifat kepada Allah yang berani terang-terangan menterjemahkan : "DIA (Dzat)
Meliputi Segala Sesuatu", sehingga kata DIA tidak ditafsirkan kedalam makna atau
digantikan dengan bentuk yang lainnya. Saya berprasangka, kemungkinan besar
para Mufassir ragu-ragu menterjemahkan kalimat hiperbolis, karena dikhawatirkan
memasuki wilayah konflik politik yang sedang marak masa itu, yaitu adanya perintah
penguasa melarang pandangan Wihdatul Wujud yang di gagas oleh Al Hallaj.
Ali Ash shabuni menafsirkan, innahu bikulli syai in muhith; Sesungguhnya Allah
Ta'ala Meliputi Segala Sesuatu dengan pengetahuannya (ilmu-Nya), baik secara
global maupun tafshila ( mendetail ) : tafsir Shafwatut tafaasir: Juz III hlm. 129.
Lebih tegas lagi Syekh Nawawi memberikan keterangan dalam tafsir Al munir, Allah
merupakan Subjek Yang Meliputi Segala Sesuatu, Dia sebagai fail (subjek) Al 'alimu
yang mengetahui semua ma'lumat yang tidak ada batasnya. Dia Mengetahui yang
dhahir dan yang tersembunyi dalam diri orang-orang kafir. Sedangkan penafsiran
beliau mengenai wanahnu aqrabu ilaihi min hablil waridi ( Qaaf: 16). Fa ka anna
dzatuhu ta'ala qaribatun minhu ..yaitu seolah Dzat itu sendiri yang lebih dekat dari
urat leher.( hal 243 Juz III , tafsir shafwatut tafaasir, Ali as shabuni). Didalam tafsier
Munir karangan Syekh Nawawi dijabarkan fallahu ta'ala aqrabu ilal insaani min
'uruqihi almukhalithi lahu, Allah lebih dekat terhadap Manusia daripada keringatnya
yang bercampur baginya. ( hal 319).
Kemudian, baik syekh Nawawi maupun Ali Ash shabuni menafsirkan kullu syaiin
halikun illa wajhahu, sebagai Segala sesuatu pada hakikatnya adalah fana (binasa)
kecuali Dzat-Nya Yang Kekal dan Quddus. Dari pendapat tersebut diatas, dapat kita
simpulkan bahwa kita tidak bisa memungkiri adanya konsep-konsep qurani yang
menjadi sumber timbulnya atau menjurus kedalam paham
penyatuan atau pantheisme.Memang masih bisa diperdebatkan dari mana pengaruhpengaruh
yang membuat doktrin tersebut muncul. Menurut Massignon (massignon,
Essai, hlm 84) perkembangan tersebut ada akarnya dalam Alqur'an sendiri,
sedangkan menurut sementara ahli lainnya, perkembangan tadi disebabkan karena
kontak dengan aliran-aliran mistik kristen di Suria serta Neoplatonisme, atau
pengaruh dari Syi'ah dengan ajarannya mengenai inkarnasi Zat keallahan dalam diri
Ali dan para pengikutnya (menurut DB Mac Donald, Development of Mouslem
Theology, Jurisprudence and constitional theory, hal 182), atau karena pengaruh dari
India, (menurut M Horten, dalam indische stromungen in der inslamischen Mystik,
Heidelberg 1928) , tulisan ini dikutip dalam buku pantheisme dan monisme dalam
sastra suluk Jawa hlm 21. PJ, Zoetmulder,Gramedia , Jakarta 1990).
Dalam ajaran Tasawuf, para sufi mendahulukan pemahaman kerohaniannya melalui
tahapan (martabat) untuk mencari Tuhannya, yang biasa dikenal dengan ajaran
martabat tujuh. Diharapkan ajaran ini bisa membantu memberikan petunjuk bagi
kita untuk meluruskan pemahaman tauhid dan menguak tabir rahasia para sufi
dalam menyelami ekstasis, yang terkadang menimbulkan polemik dan absurditas,
yaitu menempatkan Allah sebagai wujud yang tak tergambarkan ( asy syura: 11)
dan tidak ada individuasi maupun presepsi. Prinsip ini didasari ayat yang
menyatakan Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya ( Al qashash: 88 ).
Didalam penghayatan mistisnya, para sufi menafikan segala sesuatu termasuk
dirinya sendiri; sehingga muncul kesadaran "Yang wajib ada adalah Yang Mutlak",
laa maujuda illallah. Sebenarnya hal ini merupakan prinsip monotheisme, yang
dibawa oleh Rasulullah saw dalam misinya, yaitu menafikan segala bentuk tuhantuhan
selain Allah, " laa ilaha illallah" ….. pada hakikatnya segala sesuatu akan
binasa (fana) kecuali wajah-Nya yang tetap abadi (baqa) , kullu man alaiha faanin,
wayabqaa wajhu rabbika dzul jalaalil wal ikraam ( Ar rahman: 26-27).
Selanjutnya kita akan mencoba menelusuri ajaran Al hallaj dengan CARA tidak serta
merta menerima atau menolaknya; karena kita membutuhkan pemahaman yang
jernih akan hal ini. Sekilas memang ayat-ayat tersebut diatas banyak mengarah
kepada pemahaman pantheisme sebagaimana ajaran Hindu dan Katholik oleh karena
itu saya akan mencoba memaparkan ajaran-ajaran mengenai penyatuan diri dengan
Tuhan agar memiliki garis yang tegas sesuai misi Rasulullah dalam meluruskan
tauhid kepada Dzat Yang Mutlak. Bedanya sangat tipis sekali antara pemahaman
pantheisme yang berasal dari ajaran Hindu dan kristen dengan monotheisme yang
berasal dari Alqur'an.
Di dalam Al qur'an telah di ungkapkan bagaimana kaum musyrik melontarkan alasan
yang dijadikan prinsip, bahwa berhala-berhala bukanlah Tuhan yang sebenarnya
sebagai sesembahan, melainkan hanya sebagai perantara (washilah) untuk menuju
Yang Maha Mutlak.
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik ). dan orangorang
yang mengambil pelindung selain Allah (berkata) : "Kami tidak menyembah
mereka (berhala) melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah
dengan sedekat-dekatnya". ( QS. Az zumar : 3 )
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka : " Siapakah yang menciptakan
langit dan bumi ?" , niscaya mereka menjawab; " Allah". Katakanlah : " Maka
terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak
mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhala itu dapat
menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat
kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya ? …..( QS. Az zumar: 38 )
Berhadapan dengan berbagai macam pendapat tadi, mari kita kaji uraian sekitar
ajaran Al hallaj yang telah dipaparkan oleh Massignon dalam kajian Al Hallaj , hlm
352. dalam buku Manunggaling Kawula Gusti , PJ. Zoetmulder , hlm 38,39 )
Al Hallaj mencari kesatuan dengan Allah bagi dirinya sendiri, sehingga kata-kata
yang diwariskan -spontan- berasal dari perasaan pribadinya. Al Hallaj ingin
menerangkan apa yang dialami dalam lubuk hatinya dengan meneruskan keterangan
itu kepada orang-orang lain, sehingga dalam kajian terhadap ajaran Al Hallaj
hendaknya kita juga mencari keterangan mengenai ucapan-ucapan emosionalnya,
yang kalau dipandang dari luar konteksnya, mudah dianggap sebagai ucapan-ucapan
pantheistis. Di sini pertama-tama saya teringat akan ucapan-ucapannya mengenai
Allah, dengan mempergunakan kata ganti pertama, seperti konon kabarnya
diucapkannya dalam malam terakhir sebelum ia menjalani hukumannya.
"Adapun Engkau membagikan kepada saksi ini (Al Hallaj sendiri) kepribadian-Mu
sendiri dan kodrat ilahiMu. Bagaimana ini dapat terjadi karena Engkaulah (yang
memegang peranan dari kodratku sendiri untuk menampakkan Diri-Mu di tengahtengah
manusia, pada tahap-tahap terakhir keadaanku- bila Engkau telah datang
kedalamnya untuk menampakkan kodratku ( Engkau, Ya Tuhan ) lewat kodratKu ) (
mulai kalimat ini Al hallaj berbicara atas nama Tuhan dan mempergunakan kata
ganti pertama guna mengungkapkan penyatuan mesra dengan Tuhan. Saya
berusaha menyatakan peralihan itu dengan menulis awal kata positif dengan hurufhuruf
besar: catatan dari Massignon ) Serta mempermaklumkan kenyataan ilmuKu
dan mukjizatKu- sambil mengangkat DiriKu, dalam kenaikanKu, sampai tahta-tahta
kelanggenganKu, sambil memelihara DiriKu dalam ciptaan-ciptaanKu: Bagaimana
bisa terjadi bahwa aku sekarang ditahan, dimasukkan kedalam penjara , diserahkan
kepada maut, ditempatkan diatas kayu salib, dibakar, lalu debuku diserahkan
kepada ombak-ombak ( Massignon, 297,298 )
Dalam membicarakan Al Hallaj, penting untuk dibahas sosok Beyazid Al Bustami,
seorang tokoh terkenal, yang banyak menghiasi khasanah keilmuan mengenai mistik
dari pengalaman bathinnya sendiri, yang sesuai dengan citra pengalaman Mi'rajnya
Rasulullah. Ungkapan-ungkapannya penuh dengan makna, bahwa alam-alam yang
dilaluinya merupakan bentuk citra yang hina dan fana termasuk dirinya. Kemenakan
Beyazid, yang mencatat sejumlah besar ungkapan-ungkapannya, pernah bertanya
tentang pengingkaran terhadap dunia (zuhud) dan sang paman menjawab:
"Pengingkaran ( Zuhud) itu tak ada nilainya. Tiga hari lamanya aku dalam
pengingkaran, dan pada hari keempat selesailah sudah. Hari pertama kuingkari
dunia ini, hari kedua kuingkari akhirat, hari ketiga kuingkari segalanya kecuali
Tuhan, ketika hari keempat tiba, tak ada lagi yang tersisa bagiku kecuali Tuhan. Aku
telah mencapai damba yang menyakitkan . kemudian ada suara menyeruku : O, Abu
Dzun-Nun, kau tak cukup kuat untuk bertahan bersama-Ku sendiri. Kujawab : itulah
memang yang hamba inginkan. Kemudian suara itu berkata : kau telah
menemukannya, kau telah menemukannya !!"
Beyazid menyadari dan pada akhirnya menemukan, bahwa Tuhan mengingatnya
sebelum ia mengingat Tuhan, bahwa Tuhanpun mengenalnya sebelum ia mengenal
Tuhan, dan bahwa cinta Tuhan mendahului cinta manusia terhadap-Nya. Kemudian
Beyazid mengungkapkan pencapaiannya dengan kebanggaan seseorang yang sudah
mencapai tujuannya :
"Ia segera bangkit dan menaruhku di hadapan-Nya dan kata-Nya kepadaku : "O
Beyazid, makhluk-makhlukku sangat ingin memandangmu, dan aku pun berkata:
Hiasi hamba dengan kesatuan-Mu dan dandani hamba dengan ke- AKU-an Mu dan
angkatlah hamba ke Keesaan-Mu sehingga, kalau makhluk-makhluk-Mu
memandangku, mereka akan berkata: Kami telah menyaksikan-Mu, dan Kaulah itu
dan hamba tidak lagi berada di hadapan mereka itu."
Beyazid, dalam keadaan ekstase (fana ) berkata : "Subhani, Subhani - Maha suci
Aku, Maha suci Aku, Maha Suci Aku." Ungkapan-ungkapan ini telah menjadi teka-teki
bagi kaum mistik pada zaman kemudian dan telah sering menjadi inspirasi bagi
penyair mistik dalam menggambarkan kesempurnaan perjalanan kerohanian
seseorang, disamping banyak sekali orang yang mengecam dan mengkafirkan
Beyazid. Sebagian kalangan sufi moderat, yaitu Sarraj mengganggap perkataan
Beyazid seolah-olah membaca sabda dalam Qur'an "Sesungguhnya Aku ini adalah
Allah, tidak ada Tuhan selain AKU, Innani Ana 'Allah, laailaha illa Ana (QS.
Taha:14)."
Beyazid mencapai keadaan ini melalui 'negationis' yang gigih, dengan
menghilangkan kesadaran dirinya sendiri, sampai ia mencapai - walaupun hanya
sesaat-, keadaan penyatuan mutlak yaitu ketika pecinta, kekasih, dan cinta menjadi
satu. Kenyataan yang dialami Beyazid di kritik oleh Mansur Al Hallaj yang berkata,
bahwa Abu Yazid yang merana itu baru sampai diambang ilahi saja, karena ia tidak
mampu melepaskan dirinya dari ketiadaan.
Para sarjana Barat banyak yang tertarik dengan ajaran Al hallaj karena dianggap
bisa mewakili kelangsungan kebenaran ajaran kristus didalam penyatuan dengan
Allah atau pantheisme. Seorang sarjana ahli teologi protestan dari Jerman bernama
F.A.D. Tholuck menyebut Al hallaj adalah sufi yang paling terkenal karena
ketenarannya dan nasibnya, yang menguak cadar di depan umum dengan
keberaniannya yang luar biasa. Kutipan Tholuck pada waktu itu dieja dan ditafsirkan
keliru sehingga citra Hallaj sungguh menjadi rusak pada zaman-zaman berikutnya. (
Friedrich August Deofidus Tholuck, Sufismus sive theosophia persarum pantheistica ,
Berlin, 1972 hlm 68. dalam buku dimensi mistik dalam Islam, annemarie schimmel
hlm 64 ) Tholuck menganggap Al Hallaj seorang pantheis, hal itu menjadi pandangan
para sarjana abad ke 19. Mereka telah menemukan beberapa naskah dalam kitabkitab
yang ditulis oleh Al Hallaj yang menunjukkan arah kepada pantheisme.
Pandangan lain adalah ada yang menganggap Al Hallaj sebagai seorang Kristen
rahasia. Pandangan terakhir itu muncul pada akhir abad ke 19, diajukan August
Muller dan tetap di ikuti oleh beberapa sarjana. Para orietalis lain, berdasarkan
sumber-sumber yang ada , cenderung menyebutnya seorang 'monism' murni. Alfred
von Kremer berusaha mencari sumber Hallaj yang terkenal Anal Haqq dalam
sumber-sumber India, dan Max Horten membandingkan pernyataan mistik itu
dengan aham brahmasmi dalam upanishad , dan beberapa sarjana lain
menyetujuinya.
Reynold A Nicholson mempunyai pandangan, bahwa Mansur Al Hallaj menekankan
monotheisme keras dan hubungan yang sangat pribadi antara manusia dan Tuhan
dalam pemikirannya, sedangkan Adam Mez melihat kemungkinan adanya hubungan
antara sufi agung itu dengan teologi Kristen.
Louis Massignon telah berhasil mengumpulkan data-data tentang Al Hallaj dari
lingkungan tempat dia berasal dan pengaruh-pengaruh atas Hallaj telah dijelajahi,
sehingga kehidupan dan ajarannya bisa diketahui lebih lengkap dan dimengerti lebih
baik di Barat. Massignon telah banyak belajar dari sebuah kitab yang terkenal "At
Tawasin", yang isinya sulit dipahami, karena sebenarnya banyak paradoks yang
tersimpan didalamnya, kecuali oleh orang yang memiliki kecerdasan kerohanian
yang tinggi. Ajaran yang ditulis dalam buku tersebut berbentuk sajak,
mengungkapkan keagungan Tuhan dan imanensi-Nya dalam hati manusia. Rahasia
penyatuan cinta dipuja dalam sajak-sajak yang bebas dari segala lambang cinta
'profane'. Massignon menyelidiki dunia rohani Al Hallaj secara terus-menerus,
menambahkan hal-hal kecil dalam catatannya, dan kemudian diterbitkan sebagai
sebuah biografi monumental syuhada mistik tersebut pada tahun 1922; seribu tahun
setelah hukuman mati terhadap Al hallaj. Nyatanya, Hallaj seperti yang dikatakan
Hans Heinrich Schaender dalam resensinya atas buku Massignon, adalah syuhada
Islam par exelence karena ia merupakan contoh kemungkinan-kemungkinan
terdalam dari keshalehan pribadi yang ada dalam agama Islam. Ia menunjukkan
akibat cinta sempurna dan makna mendapatkan kesucian pribadi macam apapun,
akan tetapi agar bisa mengabarkan rahasia ini, harus hidup di dalamnya dan mati
untuknya. Seperti pengorbanan Yesus Kristus dalam penebusan dosa ummatnya.
Siapakah orang ini sebenarnya, yang telah menjadi bahan kebencian dan cinta,
contoh penderitaan, raja bid'ah dalam tulisan-tulisan ortodoks (salafi), tokoh idaman
para sufi yang terpesona ??
Fana bukan Pantheisme
Kesimpulan yang diungkapkan oleh para sarjana Barat (Orientalis), bahwa ajaran Al
hallaj adalah phanteisme, masih mengundang pertanyaan yang belum tuntas. Para
peneliti itu memaparkan ajaran Al hallaj melalui data-data dalam prosa, bukan
melalui perjalanan ekstasisnya, dan kemudian membandingkan dengan ajaran
trinitas dalam Kristen atau dalam kesatuan aham brahmasmi dalam upanishad. Saya
menganggap kesimpulan ini hanyalah merupakan cara mereka untuk meminjam
peristiwa yang terjadi agar sama persis dengan eksekusi yang dilakukan terhadap
Yesus Kristus. Hal ini terlihat sekali dalam uraian Louis Massignon sendiri, yang
masih banyak melibatkan emosi kepercayaannya (doktrin keimanan) sebagai orang
kristen, dan bukan sebagai peneliti murni, sehingga kesimpulannya sangat
mempengaruhi hasil penelitiannya.
Ungkapan-ungkapan Al Hallaj dalam prosa tidak bisa disimpulkan dalam bahasa
formal, karena ungkapan itu merupakan pengalaman 'transcendental'. Sebagaimana
ayat-ayat Al- Qur'an sering menggunakan kalimat mutasyabihat untuk
mengungkapkan kedalaman makna hakikat, ketika bahasa manusia tidak lagi
mampu mengungkap rahasia. Didalam kitab At Tawasin termuat anekdot sufi yang
pada akhirnya menghebohkan dunia, yaitu pernyataan Al Hallaj yang kontroversial.
Ketika ia mengetuk pintu Junayd, sang Guru bertanya : Siapakah itu ? dan ia
menjawab : Ana 'l Haqq - Akulah kebenaran Mutlak (kreatif), Akulah kenyataan Yang
benar.
Pada bab itu Al Hallaj menjelaskan mengenai kesadaran Aku Yang Mutlak
dibandingkan dengan kesadaran yang diucapkan Fir'aun dan Iblis. Menurut Al-
Qur'an, Fir'aun menegaskan, Akulah Tuhanmu Yang Paling Tinggi (Surat An Naziat:
24), dan Iblis berkata, " Aku lebih baik daripada Adam (Surat Al A'raaf: 12).
Kemudian Al Hallaj menegaskan pernyataannya, Akulah Kebenaran Mutlak".
Pada bagian ini para sufi merenungkan mengenai ke-Aku-an dirinya, tatkala ia
menafikan segala sesuatu, yang wajib ada ialah AKU, ketika merenungkan ayat kullu
syaiin halikun illa wajhahu, segala sesuatu pada hakikatnya tidak ada (binasa)
kecuali wujud-Nya yang kekal. Para mistisi merenungkan dalam-dalam perkara
adanya dua Aku yang berbeda, yakni Aku Fir'aun dan Aku ahli mistik yang
bercinta. Kesimpulannya diberikan dalam wahyu ilahi bahwa, Fir'aun hanya melihat
dirinya sendiri dan kehilangan AKU, sedangkan Husain hanya melihat AKU sehingga
kehilangan dirinya sendiri. Aku penguasa Mesir itu ( Fir'aun) merupakan pernyataan
kekafiran, sedangkan Aku Hallaj mengungkapkan keagungan Tuhan. inilah alasan Al
Hallaj mengapa ia berkata Akulah kebenaran.
Apapun alasan pernyataan Ana'l Haqq itu, Junayd -salah seorang guru Al Hallajtelah
menyatakan sikapnya terhadap bekas pengikutnya tersebut, dengan menuduh
telah menyebarluaskan pernyataan religius yang berbahaya.
Disisi lain, Al Hallaj mempunyai pandangan lain dari pernyataan Beyazid yang juga
menyatakan AKU pada kalimat "Maha Suci Aku" (Subhani), dan menganggap
Beyazid sebagai orang yang menipu, karena dia baru berada diambang ilahiyah saja
. Beyazid tidak layak mengucapkan kalimat suci tersebut, karena ia masih ada dan
merasakan keadaan mabok mistik (syakr), ia belum lenyap (fana). Hal inipun
diakuinya sendiri oleh Beyazid : Demi sadarlah aku dan tahulah aku bahwasanya
sama sekali itu hanyalah tipuan hayalan belaka.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam Mathnawi, Rumi mengisahkan legenda tentang
pengikut-pengikut Beyazid yang memberontak gurunya ketika si guru itu berkata :
Dibalik jubahku ini tak ada apapun selain Allah !!
Terlebih dahulu marilah kita mencoba untuk memahami maksud ketiadaan (fana),
sehingga memahami mengapa Al Hallaj begitu yakin, bahwa Beyazid belum sampai
kepada taraf tertinggi.
Seorang sufi besar Abu Bakar al Kharraz ( 899 M ) dikenal di Barat lewat karyanya "
kitab As-Sidq" - kitab kebenaran, yang diterjemahkan oleh Arberry. (Abu Bakr al
Kharraz, kitab as sidq, the book of Truthfulness, diedit dan diterjemahkan oleh A.J .
Arberry (Oxford, 1937) mengungkapkan bahwa hanya Allah yang berhak berkata "
AKU", sebab siapapun yang mengatakan " Aku" tak akan bisa mencapai taraf
makrifat. Itulah sebabnya iblis dihukum, karena berkata ' Aku lebih baik dari Adam ".
Lebih jauh Kharraz menunjukkan bahwa " Aku" ilahy ini secara ontologis terkait
dengan Nama Ilahi Al Haqq; "Kenyataan" inilah tampaknya yang menjadi inti
ungkapan terkenal Hallaj Ana 'l Haqq.
Apakah Al Hallaj benar-benar mengungkapkan Ana 'l Haqq pada saat keadaan
ekstase (syathathat) atau hanya merupakan pengajaran di dalam Majelis, sebab
dalam kritiknya terhadap Beyazid, beliau mengatakan "Kasihan Beyazid, ia merana
karena ia tidak mampu meninggalkan dirinya (fana), ia baru sampai di ambang ilahi.
Orang yang fana dirinya tidak akan berkata " AKU" sebab ia telah tiada."
Didalam kitab yang berjudul Raitullah "Aku melihat Allah" karya ulama sufi yang
terkenal Syekh An nafiri, diungkapkan mengenai Bab " AKU" :
"Tidak akan diucapkan kalimat AKU, kecuali bagi orang yang berkawan dengan
kealpaan dan oleh setiap orang terhijab oleh hakikat."
"Engkau berani mengatakan AKU, sedangkan engkau masih terhijab dari pada-KU,
gemerlap duniawi masih mengusik nafsumu, masing-masing akan menyambar
dirimu dengan seruan zat dirinya, engkau masih saja dalam kegaiban yang kelam
dari pada-Ku. Maka apabila engkau telah melihat " Aku" dan Aku - pun telah
menampakkan diri dihadapanmu, tetaplah keteguhanmu, maka tiada Aku lagi
melainkan AKU." (diri manusia akan hancur atau binasa, sebagaimana peristiwa
yang terjadi kepada Nabi Musa surah Al A'raaf: 143 ).
"Telah Kuciptakan (kuadakan) untukmu dan untuk sesuatu menjadi tujuan, antara
lain tujuan itu ialah, cintamu kepada dirimu sendiri, itulah tetesan waham (kalimat)
yang engkau warisi, kata-kata mu " Aku" adalah egomu sendiri (Aku terlepas
anggapan dari yang demikian) dan tidak lain zat itu melainkan kepunyaan-Ku, dan
tidak lain Aku itu kecuali untuk-Ku, bukanlah zat dan bukan pula persoalan, hanya
sesungguhnya engkau berada pada pembagian yang bersifat prasangka, hal ini
disebabkan karena caramu sendiri berfikir dan pencapaianmu pada pendakian jiwa
dan persoalan."
Pandangan diatas bisa dibandingkan dengan pernyataan Syekh Siti Jennar -seorang
tokoh mistik di pulau Jawa-, yang telah menyimpulkan bahwa Tuhan itu adalah
dirinya sendiri karena dimana saja ia pergi disitu ada Aku, dan ia sadar Akunya
selalu ada dan abadi. Konon beliau banyak terpengaruh ajaran Al Hallaj :
Syekh Siti Jennar berkata : "Kelilingilah cakrawala dunia, membumbunglah engkau
ke langit yang tinggi, dan selamilah dalamnya bumi hingga lapis ke tujuh, engkau
tidak akan bisa menemukan Wujud Yang Mulia. Kemana saja engkau pergi, engkau
hanya akan menemukan kesunyian dan kesenyapan. Jika engkau ke utara,
keselatan, kebarat, ketimur dan ketengah, yang ada di semua tempat itu hanya
disini adanya. Apa yang ada disini bukan wujud saya, yang ada didalam diriku ini
adalah kehampaan yang sunyi. Isi dalam daging tubuh ini adalah isi perut yang
kotor, bukan jantung dan bukan pula otak yang terpisah dari tubuh, tetapi nafas
yang melaju pesat bagaikan anak panah terlepas dari busurnyalah yang bisa
mejelajah ke Mekkah dan Madinah."
Menurut Siti Jennar selanjutnya, "Dirinya bukanlah budi, bukan angan-angan hati,
bukan pula fikiran yang sadar, niat, udara, angin, panas, atau kekosongan dan
kehampaan. Wujud dirinya hanyalah jasad yang akhirnya menjadi jenazah, yang
membusuk bercampur tanah dan debu. Nafasnyalah yang mengililingi dunia,
meresap dalam tanah, api, air dan udara yang akhirnya kembali ketempat asal dan
aslinya. Hal itu disebabkan karena semuanya merupakan barang baru dan bukan
yang asli. Hakikat dirinya dipandangnya sebagai dzat yang sejiwa dan menyuksma di
dalam Hyang Widi."
Bagi Siti Jennar, Tuhannya adalah Tuhan yang bersifat Jalal dan Jamal yaitu Maha
Mulia dan Maha Indah. Siti Jennar tidak mau mengerjakan shalat karena
kehendaknya sendiri, karena itu ia juga tidak memerintahkan siapapun untuk shalat,
baginya orang shalat karena budhinya sendiri yang memerintahkan shalat. Namun
budi itu juga bisa menjadi budi yang laknat dan mencelakakan, yang tidak dapat
dipercaya dan diturut, karena perintahnya berubah-ubah. Perkataannya tidak dapat
dipegang, tidak jujur, yang jika dituruti lalu berubah dan kadang mengajak mencuri.
Inilah yang katakan oleh Al Junayd dan Syekh An Nafiri, bahwa baik Beyazid, Siti
Jennar ataupun Al Hallaj (??), telah terhijab oleh dirinya. Tatkala mereka mencari
Tuhan di mana, ternyata hanya dirinya yang ada; ketika ia melambung jauh
keangkasa ghaib, tetap dirinya yang ada, di sana ada, di sini ada , di atas ada, di
bawah ada, di selatan ada, di utara ada, di barat ada, di timur ada, di mana-mana
ada. Yang ada tetap yang langgeng dan kesunyian dan kehampaan. Aku dirinya
merasakan ada di mana-mana (inilah yang dimaksud oleh Al Hallaj ambang ilahi)
bukan fana. Keadaan inilah yang dianggap bersatu (ittihad) atau manunggaling
kawula Gusti. Antara diri dan Tuhan tidak bisa dibedakan; hal ini dalam ajaran
vedanta disebut tat twam asi .
Untuk lebih jelasnya kita simak pendapat Al Junayd, mengenai pernyataan "Aku"
yang diungkapkannya. Mengapa beliau menyalahkan bekas muridnya; karena beliau
tahu bahwa Al Hallaj belum mampu melepaskan ego dirinya, karena itulah ia
terhukum sebagaimana iblis dihukum Tuhan, ia tidak layak menyingkap selubung
rahasia Tuhan, karena yang berhak mengungkapkan Aku adalah AKU itu sendiri,
bukan ego kita dimana kesadaran dirinya masih ada. Sebab jika instrumen dirinya
itu masih ada, maka ia tidak akan pernah bisa menggambarkan Tuhan seperti apa,
ia akan mengungkapkan Tuhan seperti apa yang dirasakan oleh dirinya, bukan
keadaan Tuhan yang sebenarnya Sebagaimana Musa membiarkan dirinya hancur
(fana) bersama Bukit Thursina, dan pada saat itu Allah menampakkan Dirinya,
bahwa AKU tidak bisa dilihat dengan matamu dan oleh dugaan egomu (tidak bisa
digambarkan oleh presepsi pikiranmu, hatimu, perasaanmu, dan jiwamu sendiri;
dalam Alqur'an Musa digambarkan pingsan ) AKU mengenali diri-Nya secara
sempurna. Inilah yang membedakan dengan phanteisme Hindu dan kristen, yang
menganggap Tuhan telah beremanasi kepada Sri Kresna ataupun Yesus Kristus.
Al Junayd memaparkan pandangannya mengenai tasawuf yang sebenarnya, sebagai
berikut :
"Tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada habishabisnya.
Kita tidak melaksanakan tasawuf dengan obrolan dan kata-kata, tetapi
dari kelaparan dan penolakan terhadap dunia dan memutuskan hubungan dengan
hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan kita dan segala yang sudah kita anggap
sesuai dengan diri kita. Baginya kehidupan mistik berarti usaha abadi untuk kembali
ke asal-usulnya, yang bersumber pada Allah awal mula segala sesuatu, sehingga
akhirnya si ahli mistik bisa mencapai suatu keadaan di mana ia berada sebelum ada,
yakni suatu keadaan, ketika Tuhan sendirian dan yang diciptakan-Nya dalam waktu
belum lagi ada. Hanya ada pada saat itulah ia bersaksi bahwa Tuhan adalah Esa dari
keabadian ke keabadian."
Dari data-data yang telah kita peroleh bisa disimpulkan bahwa fana (monotheisme)
dan manunggal ( pantheisme ) sangatlah berbeda .
Pantheisme adalah seperti yang diungkapkan oleh Harun Hadiwiyono sebagai
berikut:
Bagian terdalam dari manusia yaitu atma, sejajar dengan atman di dalam agama
Hindu. Atma dipandang identik dengan Allah sebagai Zat Mutlak. Kesamaan
sedemikian rupa hingga Allah melihat, mendengar dan sebagainya, hanya dengan
perantara manusia. Dapat dikatakan bahwa manusia adalah Allah yang menjadi
daging. Menurut ungkapan jawa; manusia seperti katak berselimutkan liangnya
(kodok kinemulan ing lenge) Allah berada di dalam manusia, karena manusia pada
hakikatnya adalah Allah sendiri :
Sedangkan Fana (monotheisme ) adalah seperti ungkapan Al Junayd :
Menyadari bahwa dirinya pada awalnya tiada (fana), kullu syain halikun illa wajhahu
(Al Qashash, 28 : 88 ), Segala sesuatu binasa kecuali wujud Allah yang abadi. Kullu
man alaiha fanin, wayabqa wajhu dzul jalali wal ikram ( Ar rahman, 55 : 26-27)
Kehidupan mistik berarti usaha abadi untuk kembali keasal usulnya, yang bersumber
pada Allah awal mula segala sesuatu, sehingga akhirnya si ahli mistik bisa mencapai
suatu keadaan di mana ia berada sebelum ada, yakni suatu keadaan ketika Tuhan
sendirian dan yang diciptakan-Nya dalam waktu belum lagi ada. Hanya ada pada
saat itulah ia bersaksi bahwa Tuhan adalah Esa dari keabadian ke keabadian. La
syaiun illallah, laailaha ilallaha. Inilah martabat yang tersembunyi (kesenyapan),
karena keadaan belum ada apa-apa, belum mengenal individuasi, namanya Zat
Mutlak, Hakikat ketuhanan. Tak seorangpun dapat meraihnya, nabi-nabipun tidak
(termasuk Nabi Musa). Para malaikat yang berdiri dekat Allah-pun tidak dapat
meraih Hakikat Yang Maha Luhur. Tak seorangpun mengetahui atau merasakan
hakikatnya. Sifat-sifat dan nama-nama belum ada. Hanya Dialah Yang Ada dan
nama-Nya ialah wujud makal, zat langgeng, hakikat segala hakikat, adanya ialah
kesepian (kosong). Siapakah gerangan yang tahu akan tahap ini. ??? Barang siapa
mengatakan mengetahui zat yang sejati, dia telah tersesat .
Al Hallaj menyadari, bahwa ia tidak mampu melepaskan kenyataan ketuhanan yang
tidak bisa dipresepsikan oleh hatinya sendiri, sehingga ia harus rela melenyapkan
dirinya dengan harapan ia mampu meniadakan dengan cara kematian yang tragis,
bukan dengan peniadaan (fana) pengertian spiritual yang dialami Junayd maupun
Nabi Musa, maka ia berkata dengan tulus agar ia mampu cepat melepaskan
keterikatannya dengan dirinya, dengan sebenarnya : uqtuluni ya thiqati - inna qatli
hayati - Bunuhlah aku, ya sahabatku, sebab terbunuhku itulah hidupku.
Inilah kenyataan yang sebenarnya, bahwa kematiannya merupakan harapan yang
dinantikan olehnya. Ia menemukan hidup yang Hakiki, setelah alat-alat kemanusiaan
tidak lagi ada, karena alat-alat pada diri manusia seperti penglihatan, pendengaran,
perasaan dan angan-angan, tidak mampu meraih kenyataan yang sebenarnya. Ia
mati dalam kebahagiaan yang abadi. Ia telah bebas dari keterikatannya, ia tidak lagi
berada didalam ambang ilahi, tetapi ia telah fana melalui pertolongan tangan Algojo
yang memenggal kepalanya.
Didalam kitab Jati Murti diuraikan mengenai kenyataan (hakikat) yang tidak bisa
dibandingkan dengan sesuatu (laisa kamistlihi syaiun, surah Asy syura, 42 : 11).
Sebagai berikut :
Kesejatian itu sangat luas, tidak bisa di kira-kira besar luasnya, tidak bisa dicapai di
dalam hati, tidak bisa ditemui diseluruh jagad raya, sebab didalam kesejatian
(hakikat) mempunyai arah yang disebut lahir dan bathin. Segala alam (jirim) berada
disisi luar kesejatian (hakikat), yaitu diantara lahir dan bathin, itu arah yang tidak
bisa direka-reka oleh pikiran dan perasaan manusia.
Karena kesejatian (hakikat) itu bersemayam dalam bathinnya alam atau badan yang
berada dialam, maka kesejatian tidak membutuhkan alam untuk bersemayam,
malahan berada dalam segala trmpat (berada di mana-mana), seperti
keberadaannya benda terhadap permukaan, atau seperti keberadaannya permukaan
terhadap garis. Jadi seandainya keadaan hakikat dibentengi besi yang amat rapat,
seperti halnya tempurung kemiri, tetap masih lebih luas (leluasa) sekali serta tidak
berpengaruh apapun.
Ibarat orang menggambar seekor kuda dengan sebuah pensil. Bentuk seekor kuda
yang dikelilingi dengan goresan (garis) bekas pensil, seperti tampaknya pensil tadi
yang berada di kulit kuda.
Kesejatian tidak terpengaruh sama sekali, sebab bukan benda. Yang bersemayam
dalam kesejatian, yaitu : Saya, maksudnya : Pribadi = AKU, Innani Ana Allah,
laailaha illa ANA, sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan kecuali AKU,
berada berjajar dengan segala kejadian, yaitu yang diakui oleh makhluk seisi alam
semesta, tempat bergantungnya segala sesuatu (Allahush shamad ), rabbul `alamin,
Rabb alam semesta.
Sesungguhnya keadaan hakikat (sejati ) tidak bisa diperbandingkan dengan segala
sesuatu yang ada pada keadaan alam-alam, sebab bukan tandingannya. Jika
memaksakan untuk membayangkan, maka ibarat batu dibandingkan dengan warna
yang ada pada permukaan batu tersebut, atau seperti satu meter persegi
dibandingkan dengan satu meter. Oleh karena itu perasaan manusia (sarana yang
dipakai untuk membayangkan atau mengukur) bukanlah rasa yang sejati. Jika
perasaan manusia dibandingkan dengan perasaan sejati (keadaan hakikat),
kejadiannya seperti halnya warna yang ada pada permukaan, sebuah benda
dibandingkan dengan benda yang menyatu yang memiliki permukaan tadi. atau
dapat diumpamakan seperti halnya wayang yang sedang dimainkan oleh dalang,
dibandingkan dengan dalang yang sedang menjalankan wayang tersebut. Menurut
dalang : Perilaku wayang itu pada hakikatnya tidak ada, yang ada adalah perilaku si
dalang tersebut, tanpa ada perbandingan (tandingan).
Sebagaimana firman Allah:
"Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah
yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu
melempar, tetapi Allah-lah yang melempar (QS Al Anfaal, 8:17 ) Pendek kata
manusia sebenarnya hanya "diam"(fana). Diamnya dapat diumpamakan : Salah satu
perilaku wayang berhenti, tidak dimainkan lagi oleh dalang, maka
yang ada tinggal perilaku dalang, si wayang tidak tahu apa-apa lagi, penglihatannya
tidak ada, pendengarannya tidak ada, perasaannya tidak ada, kekuatannya tidak
ada, hidupnya tidak ada, kesadarannya tidak ada, maka dirinyapun tidak ada seperti
pada mulanya sebelum diciptakan. Sekarang si wayang tidak tahu apa-apa, yang
tahu adalah tinggal AKU yang sejati yang meliputi segala sesuatu. Si wayang
kembali kepada asal muasalnya, yaitu dari tidak ada menjadi ada lalu tidak ada,
inilah hakikat innalillahi wainna ilaihi rajiuun, sesungguhnya kami berasal dari Allah
dan kepada-Nya kami kembali. Jadi manusia hanya diam saja (lenyap tanpa memiliki
presepsi apa-apa) itulah layaknya manusia yang masuk kedalam kesejatian
(hakikat), dan masuknya kealam kesejatian melalui proses penyucian dari anggapan
( dhzan, presepsi), artinya Allah suci dari anggapan pikiran dan rekayasa hati
manusia (dhzan); suci dan hilangnya sifat kemanusiaan oleh kekuatan yang
menganggap dengan I'tikat yang kuat, ia menganggap kekuatan itu adalah dirinya
sendiri; akan tetapi semuanya itu milik Allah dan harus kembali kepada-Nya.
Bukan manuggaling kawula Gusti seperti anggapan Siti Jennar, yang terpengaruh
oleh ajaran Vedanta, yang mendorong ke perluasan Atman "inti diri", sampai si inti
diri itu menyadari kesatuannya dengan hakikat segala sesuatu seperti yang
dinyatakan dalam ungkapan tat twam asi, itulah engkau !!
Karena hakikat itu tidak bisa dibandingkan dengan apa-apa (alam yang bukan
sejati), maka keadaannya tidak ada perbandingan seperti suka dan duka, senang
dan benci, bosan dan betah. Karena tanpa pemilahan, maka tidak ada hitungan dan
bilangan.Yang dimaksud dengan istilah tanpa hitungan maknanya ialah : Tidak ada
jumlahnya, karena jika dikatakan satu maka satu itu membutuhkan tandingan
adanya dua, tiga , empat dan seterusnya. Memang kebiasaan kita menyebut dia itu
Tunggal (satu), tetapi bukan berarti satu seperti penyebutan untuk sebuah benda,
satu jeruk, satu mobil. Untuk jelasnya, maka penyebutannya seharusnya sebagai
berikut : tidak ada apa-apa kecuali hanya ada: "Pribadi".
Bobotnya sudah disebut demikian, maksudnya adalah : tidak ada apa-apa kecuali
hanya - walaupun menurut alam jirim bukanlah suatu hal yang aneh, namun
menurut keadaan hakiki hal tersebut menjadi aneh. Anehnya adalah mengapa mesti
diomongkan sebagai : Tidak ada apa-apa kecuali ….. apa sebabnya ?? itu ibarat
orang berkata : air itu tidak ada yang bukan air, atau jagad segala jagad ya tetap
segala jagad .
Oleh karena tidak ada pemilahan dan bilangan, maka maksud istilah "gusti dan
kawula berada dalam keadaan sejati" juga menjadi aneh. Anehnya kenapa ada
perbandingan , yaitu kawula dibandingkan dengan gusti, seperti halnya kuda
dibandingkan dengan warnanya, atau gelang dibandingkan dengan emas yang
dipakai untuk membuat gelang tersebut. Warna itu ya warna kuda, bukan
semestinya dibandingkan dengan yang memiliki warna tersebut, sebab warna itu
tidak akan ada (tampak ) kalau tidak ada kuda (yang memiliki warna), bukan wujud
yang sebenarnya, akan tetapi wujud yang sebenarnya adalah kuda itu sendiri.
Gelang itu terbuat dari emas, gelang dengan emas itu berbeda, gelang merupakan
kejadian yang terbuat dari emas. Emas merupakan wujud yang sebenarnya,
sedangkan gelang adalah kejadian (ciptaan) yang tetap tergantung kepada bahan
emas tadi, sehingga gelang itu diliputi oleh emas

Tidak ada komentar: