Kamis, 22 Januari 2009

Bekas Sujud dan Kurs Kebahagiaan

Dulu, setelah masa ABG saya habiskan dengan kenakalan yang lumayan luar
biasa, tiba-tiba secara sunatullah habislah gelap terbitlah terang. Diri ini
digerakkan Allah untuk sholat tobat. Tapi saking semangatnya, setiap kali
sholat, sujudnya sangat menekan ke lantai sebagai pertanda kapok yang luar
biasa. Apalagi didukung salah satu ayat Quran yang menyatakan tanda-tanda muka
orang beriman tampak dari bekas sujud.

Saya mengartikan ayat itu dengan keriya'an tak disadari. Seakan-akan ingin
menunjukkan kepada setiap teman atau saudara, "Ini lho tanda hitam di dahiku
bekas sujud. Aku sudah kapok". Tak terasa pula diri ini mulai membandingkan
jidat sendiri dengan jidat sekitar sambil melengos sinis kepada jidat yang
kurang hitam. Secepat itu diri ini lupa asal bahwa kemarin baru saja
bertahun-tahun hidup ngawur.

Ehh... berbulan-bulan terbawa perasaan seperti itu, tiba -tiba ada suatu
peristiwa yang menohok keriya'an itu. Seorang teman bercerita, sebentar lagi
teman-teman dari Hadramaut Yaman akan datang. Dia ngajak orang sana. Kalau kamu
tahu, kulitnya itu hitam legam melebihi negro Amerika. Pokoknya persis seperti
Hajar Aswad lah...

Dheg ! Diri ini serasa lunglai sambil berfikir, "Lha iya ya, bagaimana kita
bisa mengenali bekas hitam sujudnya ? Lha wong mereka dalam ukuran kulit sudah
sangat hitam. Lha kan persis kayak mencari semut hitam berdiri diatas batu hitam
di kegelapan malam, dalam gua lagi ! Kalau begini Allah nggak adil dong !
Jangan-jangan yang paling tampak sholeh nanti orang bule dan Jepang. Sebab
antara kulit dan bekas sujud akan mudah terlihat kontras. Lagipula kulit mereka
lebih tipis dan mudah iritasi karena gesekan".

Ah, betapa bodohnya si ABG ini menyamakan Quran dengan bacaan komik. Akhirnya
saya tersadar, dulu senengnya sholat pakai sajadah kakek yang tipis dan aus agar
cepat mengikis jidat, kemudian berubah ganti merengek minta oleh-oleh sajadah
tebal nan lembut dari Makkah. Supaya wajah tetep mulus kayak bintang sinetron.

*

Bekas sujud sesungguhnya adalah kepakaran diri dalam berendah hati kepada
manusia. Dahi menempel ke tanah adalah sebuah pesan bahwa konsep isi kepala
haruslah tertransfer bermanfaat memanusiakan manusia dan membumi. Karena bumi
alias tanah adalah unsur dari terciptanya manusia. Tempat kita semua berpijak.

Hal ini iblis tidak bisa mengerjakan. Ada yang bilang iblis tidak bisa karena
demi menjaga ketauhidan murni sehingga hanya mau sujud kepada Allah. Tapi iblis
lupa kalau Allah telah memfirmankan bahwa di dalam manusia Kutiup sebagian Ruh
Ku.

Dengan kata lain menghargai sesama manusia sama saja dengan mensujudiKu.
Sialnya, wujud rupa manusia adalah hijab tertinggi. Tapi bagaimanapun kita harus
belajar tak menghiraukan bentuk wajah agar diri ini mampu bersujud dengan benar
dalam memandang wajah Allah.

Tapi ya memang itu beratnya. Terkadang maunya beimajinasi ketemu guru ngaji
yang berwibawa dan lemah lembut, ehh...ndhak tahunya yang ditemui kok hanya
orang gembel gondrong crongohan dan agak bau. Padahal siapa tahu beliau
sebenarnya adalah Khidhr yang lagi nyamar meng-intel-i jejeg nya ketauhidan
kita.Terkadang pula maunya ditamui orang baik-baik yang bawa rejeki, eehhh ndhak
tahunya yang datang malah preman sempoyongan sambil pinjam uang plus minta
doa...

Bila kita tak bisa ikhlas memaknai sujud, hidup akan terombang-ambing seperti
arwah iblis gentayangan. Membumi tidak, melangit tidak. Kebingungan di tengah
kedalaman sujud. Diri ini masih belum bisa terima bahwa sujud itu adalah merawat
manusia. Sehingga akhirnya sang jiwa tak mampu bersemayam kekal di langit ke
tujuh.

Kita belum terpahamkan bahwa konsekuensi sujud adalah rakaat salam, yang
berarti menjamin keselamatan sekitar, dus menjadi pengingat akan asal muasal
nilai ajaran Islam yang tak mengenal pengurungan diri alias kerabian..
Fungsi sujud menghargai manusia tak lain untuk mengikis kesombongan diri
sampai enthek ngamek. Sebab sebji zarah kesombongan sudah jadi penghalang utama
seseorang masuk surga. Yah...tempat dimana tak ada lagi amarah, hujat menghujat,
tantang menantang, tonjok menonjok, makan memakan dan bakar membakar seperti
keadaan neraka. Duhai surga dambaan mukhlisin....
Jadi tak perlu heran banyak orang sering bersujud tetapi malah suka
marah-marah. Makin sering sujud makin mudah tersinggung. Maklumi saja bahwa mas
Fulan belum mengetahui tehnik mentransfer isi kepalanya yang penuh itu ke bumi
tempat ia berpijak. Temani saja, sebab ia hanyalah orang kesepian yang ingin
cari perhatian dan teman pengikut atas kebingungan posisi diri. Hiburlah, sujudi
kakinya, pegang kakinya, lalu panggul. Biarkan ia berteriak girang sembari
mengangkangi kepalamu dengan kakinya. Nikmati saja. Lonjak-lonjak menari-nari
lah seperti reog agar yang terpanggul gembira hatinya.

Itulah ikhlas, mengerjakan sesuatu bukan untuk perolehan diri sendiri. Sikap
yang terlihat memosisikan harga diri rendah ternyata membuahkan kegembiraan
manusia lain. Inilah sujud. Kebahagian kita pun jadi naik peringkat dari
kebahagiaan berkelas anak-anak yang hanya egosentris berubah menjadi kebahagiaan
orang tua. Biarkan aku yang susah dan kemproh nak, asal engkau bahagia....
Bahkan suatu saat kita harus mengejar kelas kebahagiaan yang lebih tinggi.
Kebahagiaan seluruh manusia kemudian berlanjut kebahagiaan semesta.
Kebahagiaaan kelas udara. Menghidupi tapi tak dilihat keberadaannya. Rahmatan
lil alamien.

**

Memang, banyak model kebahagiaan yang tidak mudah kita pahami. Karena dalam
berbagai hal, kita sudah terbiasa mengukur kebahagiaan dengan cara pandang
kuantitas formal. Kualitas esensi nonformal tak pernah kita seriusi dan kita
potret secara cermat.

Seharusnya dalam memahami kegembiraan, kita bisa mencontoh permainan ekonomi
modern seperti valas. Dalam dunia valas, broker tidak lagi melihat angka mata
uang tetapi lebih memilih nilai tukar. Mereka menawar mahluk yang bernama kurs.

Seandainya memilih, bila kita sadar bahwa US$ 1 = Rp 9.000,- , Manakah yang
kita pilih antara US$ 100 dengan Rp 100.000,- ? Banyaknya deretan angka ataukah
nilai mata uangnya ? Hal ini persis seperti pilihan kita membeli tiket
kebahagiaan. Allah terkadang memberi kita tiket jalan tol kebahagiaan, tapi kita
lebih memilih jalan umum walaupun macet. Alasannya sederhana, bisa lihat
macam-macam, bisa mampir sana-sini. Banyak pengalaman dan oleh-oleh. Otomatis
banyak bahan buat nggedhabrus.

Seringkali kita diberikan kebahagian oleh Allah dengan cara yang sangat by
pass sederhana bahkan terkadang tanpa perantara apapun. Lhesss...tiba-tiba tanpa
sebab akibat apapun, otak, hati dan tubuh jadi rileks semilir. Byar ! Semua
terasa gamblang padhang, ikhlas. Namun yang bikin suasana itu cepat hilang
karena kita tak pernah mengakuinya sebagai anugerah kebahagiaan yang dahsyat.

Kita terbiasa terdoktrin bahwa yang namanya bahagia itu harus melalui proses
makan enak dulu, kalau sudah bisa beli baju bagus, punya mobil keren, dapat
pujian kejeniusan dan sejenisnya. Padahal makanan enak, baju bagus, ataupun
kecerdasan hanyalah trigger atau perantara penyampai menuju cita-cita bahagia.
Ia hanyalah sekedar stimuli zat bahagia dalam tubuh.

Kalau kita jujur, bukankah kita semua ingin secepatnya hidup bahagia, apapun
caranya ? Bahkan jalan haram pun kita oyi saja. Tapi anehnya, kalau Allah
langsung kasih cara bahagia kontan, kita malah susah, bingung dan nggak percaya.

Jadi kalau kebahagiaan itu langsung di ilhamkan oleh Allah kepada diri kita
secara kontan tanpa perantara apapun, ngapain malah masih bingung mempertahankan
perangkat pencapai kebahagiaan itu ? Akhirnya makin banyak perangkat itu, makin
sulit lah diri kita merumuskan bentuk mahluk yang bernama bahagia ini.

Wong namanya makin sulit merumuskan, ya jelas otomatis hidup ini makin kayak
Mr. Sumit, susah dan rumit. Tapi ya santai aja, ndhak perlu kebakaran jenggot,
nikmati saja kesusahan-kesusahan itu. Toh kita sudah dengan rela hati berjibaku
mempertahankannya.
***

Peralatan kebahagiaaan itu persis seperti tongkat krug bagi orang yang punya
masalah kaki. Semakin banyak bantuan peralatan, menandakan semakin lemahlah
kedirian kita berjalan menapaki kebahagiaan. Tapi anehnya setiap hari dari pagi
sampai kelelawar keluar sarang, kita ini memeras keringat hanya untuk mengoleksi
berbagai peralatan perantara kebahagiaan ini. Berjuang untuk melemahkan diri
sendiri.

Bila saja kita sampai pada tahap ketergantungan menuhankan peralatan perantara
ini, maka siap-siap saja kalau Allah melengos kepada diri kita. Allah akan
mencabut kebahagiaan itu dari diri kita. Saya dan anda pasti pernah merasakan.
Merasa bisa terhadap segala sesuatu tapi tak bisa merasakan ekstase kegembiraan
atas segala perolehannya. Memiliki berbagai wasilah kebahagiaan namun tak
kunjung ketemu Pak Bahagia. Maybe, beliau lagi pulang ke desa kali ya....?

Makin lama kita seperti kecanduan narkoba. Porsinya makin banyak tapi efeknya
makin berkurang. Bila telat sedikit, sakit luar dalam luar biasa. Pil dan bubuk
haramnya tak pernah kita konsumsi, namun sifat barang itu kita install secara
berjamaah, setiap hari, bertahun-tahun dengan daya jihad luar biasa. Kita pun
tak mampu punya ilmu daya tawar sezarah pun di hadapannya.

Tanda-tanda kita terkena pengeringan celupan Allah, biasanya ada
ketidaksinkronan antara yang kita kuasai dengan sifatnya. Yang kaya jadi pelit
takut tekor. Padahal makna kaya adalah kemampuan memberi tanpa khawatir
kehabisan.Yang pandai jadi apriori mudah salah sangka dan menghujat orang.
Padahal hakikat pandai adalah kepakaran menyerap apa saja untuk dijadikan
kelapangan hidup. Mewujud menjadi manusia universal yang mampu mewadahi orang
terbelakang sekalipun. Yang merasa punya ilmu ma'rifat mudah tersinggung tak
kuat hati melihat orang yang lebih maju spiritualnya. Padahal hakikat mar'ifat
adalah orang yang sudah kosong fana tak memiliki apa-apa. Tak ada kehendak
pribadi. Di apa-apain ya nggak apa-apa lha wong sudah nggak ada apa-apa. Apanya
yang mau di apa-apain ?

Semua ketidaksinkronan itu karena terlalu kuat rasa memiliki perangkat
kebahagiaan. Sesuatu yang dipinjamkan oleh Allah diaku menjadi milik pribadi.
Persis seperti kalau kita kelamaan pinjam barang teman. Seakan-akan barang itu
sudah berhak kita miliki. Sampai-sampai yang punya barang malah sungkan
mengambil. Lha ini kan masalahnya bukan sesama teman, melainkan akhlak simpan
pinjam kepada Tuhan.

Tapi ya sudahlah, nggak perlu diseriusi. Dunia ini laibun wa lahwun. Saya
sendiri paling ya belum tentu bisa. Lha wong saya je ! ....jelas gak iso...yang
bisa hanya kehendak Allah thok.

Sedikit metuwek, Ketika moment kebahagiaan tanpa perantara ini datang, mbok
sekali-kali jangan menampik atau menawar. Cepat pegang era-erat dan nikmati.
Sungguh, jangan ditawar-tawar. Mosok Allah di tawar rek ! Wong kita belanja ke
supermarket saja nggak berani nawar. Aneh ya... sistem Allah kita tawar,
sedangkan dihadapan sistem kapitalis kita malah sami'na wa ata'na.

Ya Allah, mbok benahi pola pikir kami yang pathing krunthel nggak karu-karuan
ini....

****

Beberapa minggu lalu, entah karena kesalahan manajemen kerja atau apa, singkat
kata akhirnya saya harus menerima konsekuensi takdir tanpa bisa ditawar lagi.
Bahwa salah satu rejeki yang bernama uang itu dalam beberapa hari tinggal
delapan ratus rupiah doang. Plus saldo ATM tiga ribu rupiah. Cuman bisa buat
beli kerupuk. Pokoknya asyik lah...( he..he..walaupun sebenarnya agak clingukan
juga )

Seperti biasa, otak ini jadi blingsatan dan anehnya malah suka bermimpi yang
muluk-muluk ketimbang saat kantong agak tebal. Wong namanya mimpi, ya sekalian
aja yang muluk. Mumpung mimpi nggak perlu keluar keringat dan dilarang. Gratis
lagi !.

Sebab kenyataannya mimpi membayangkan dapat undian seribu rupiah dengan
membayangkan dapat semilyar, tanggapan otak kita akan sangat lain. Persis
perbedaan membayangkan surga dengan neraka. Walaupun kenyataannya semua masih
sama-sama angan-angan.Tapi ya apa salahnya berangan-angan positif dan muluk
kayak kata para pakar LOA.

Karena saya tidak berhak membagi berita ini pada anak istri, maka harus ada
cara menyenangkan mereka tanpa uang. Tapi nampaknya istri sudah tahu akan hal
ini. Maka sebelum bersedih, dia saya ajak jalan-jalan naik motor, sambil
berkhayal, berkelakar dan mencari jawaban hikmah.

Lho ! lha kok tiba-tiba kami nylonong keliling perumahan mewah.
Why...why...why....diri ini bergumam menunggu wangsit sambil terus melihat-lihat
perumahan yang asri itu. Kenapa saya harus jalan-jalan ke sini ? Ada apa dengan
rumah-rumah ini ? Kapan saya punya rumah sendiri ? Dimanakah bakal rumahku ?

"Hmmm... yah, seandainya kita punya satu kapling saja disini
bla...bla...bla...", istri saya mulai mengigau.

Eiitt...saya terkesiap dari lamunan alam ghaib, lalu langsung memotong
pembicaraan, "Sebenarnya saya mau ngomong kok nggak enak, diam-diam sebenarnya
kita di sini sudah punya jatah lima kapling. Tinggal mau tidaknya kita
menempati".

"Heh !", istri saya terhenyak antusias. "Masak sih ? Lima kapling ?"

Iya, sungguh, Di Sini ...!

Kapling pisan, moco Quran sak maknane.
Kapling pindho, sholat wengi lakonono.
Kapling telu, wong kang sholeh kumpulono.
Kapling papat, weteng siro ingkang luweh.
Kapling limo, dzikir wengi ingkang suwe.

Itulah rumah sejati yang begitu jembar asri dan bikin kita tetap bisa
cengengesan walau kas lagi nol.

Masalah kita sesungguhnya, apakah harus nunggu dapat rumah besar baru bisa
merasa bahagia, atau pengen langsung dapat bahagia walaupun tetap nggak punya
rumah kayak sekarang ? He...he... tapi kok kayaknya saya ini mbeling ingin dapat
bahagia sekarang sambil menunggu siapa tahu tahun depan dapat rumah besar...

Istri saya hanya bisa ketawa gemes ngrasakno suami yang nggak beres cara kerja
otaknya ini. Namun tiba-tiba dia hening sejenak, "Yah...aku kangen sama Allah
lagi...."

Ya sudah kita ke studio biar nggak ada yang ngganggu, silahkan diam bertafakur
berkangen-kangen dengan Allah sambil nungguin saya nerusin kerjaan yang nggak
beres-beres ini. Biar dananya cepet cair. Ayo kerja, kerja dan kerja....

Rupanya kerinduan pulang ke rumah sejati itu menyirnakan penyakit liar
kambuhan. Si angan-angan....

Wassalam, semoga bermanfaat

Dody Ide

1 komentar:

Anonim mengatakan...

akhhhh akhirnya setelah berjibaku bisa dengan blogspot bisa juga ngepost.......